Proposal untuk Membaca Konsili Vatikan Kedua dengan Benar

bishop-schneider

Berikut ini merupakan terjemahan tidak resmi Lux Veritatis 7 terhadap teks Uskup Athanasius Schneider, yang membahas tentang penafsiran dokumen Konsili Vatikan II. Seperti yang diketahui, pada Desember 2005, Paus Benediktus XVI dalam pidatonya di hadapan kuria Roma menjelaskan tentang adanya dua jenis penafsiran terhadap Konsili Vatikan II: penafsiran yang terputus dan penafsiran yang berkesinambungan. Menurut pengamatan kami, penafsiran dokumen KVII yang terpisah dari tradisi Gereja merupakan penafsiran yang cukup banyak digunakan di Indonesia. Dengan demikian, proposal yang diajukan +Schneider sangatlah penting agar KVII dapat ditafsirkan, diterapkan, dan diterima dengan benar dalam kehidupan Gereja Katolik di Indonesia.

+++

PROPOSAL UNTUK MEMBACA KONSILI VATIKAN II DENGAN BENAR

oleh Uskup Athanasius Schneider, ORC

Disampaikan pada saat Konfrensi Para Kardinal dan Uskup yang diadakan di Roma, 17 Desember  2010. Penulis adalah Uskup Auxiliary dari Karaganda, Kazakhstan.

Keutamaan penyembahan kepada Allah sebagai dasar dari semua teologi pastoral yang benar.

I. Dasar teologis dari teologi pastoral

Untuk berbicara secara tepat mengenai teori dan praktik pastoral, pertama-tama diperlukan kesadaran terhadap dasar dan tujuan teologis mereka. Tujuan Gereja adalah tujuan Inkarnasi: “propter nostram salutem.” Inilah cara iman dan doa Gereja diungkapkan: “Qui propter nos homines et propter nostram salutem descendit de caelis et incarnatus est…. et homo factus est.” Keselamatan ini berarti keselamatan jiwa untuk kehidupan kekal. Tujuan seluruh yurisdiksi Gereja dan tatanan pastoral juga mengandung keselamatan ini, seperti yang tertulis pada kanon terakhir di Kitab Hukum Kanonik: “prae oculis habita salute animarum, quae in Ecclesia suprema semper lex esse debet.” (Kan. 1752)

Konten dari keselamatan jiwa manusia terdiri dari kesucian, pembaharuan dan tentu saja kesempurnaan otentik martabat asli manusia dalam Kristus. Allah telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26) dan karya ini mengagumkan, seperti yang Gereja katakan dalam liturgi. “Deus, qui humanae substantiae dignitatem mirabiliter condidisti”. Tapi yang lebih mengagumkan lagi adalah pembaharuan dan penyempurnaan gambaran ini yang telah datang oleh karya Penebusan: “mirabilius reformasti”. Pembaharuan, kesempurnaan baru, kekudusan tergantung dari rahmat partisipasi manusia dalam kodrat Ilahi itu sendiri yang tak terbayangkan: “Divinitatis esse consortes”. Partisipasi dalam kodrat ilahi ini berarti menjadi anak-anak angkat Allah, menjadi anak-anak dalam Putra Tunggal, Yesus Kristus.

Yesus Kristus, Putra tunggal Allah dari kodrat-Nya, membuat diri-Nya sendiri menjadi putra sulung dari begitu banyak saudara-Nya oleh inkarnasi-Nya yang sejati: “primogenitus in multis fratribus” (Rm 1:29). Melalui korban penebusan-Nya artinya Kristus menawarkan manusia rahmat dari kehidupan Ilahi. Kehidupan Ilahi yang sama dalam misteri Tritunggal Maha Kudus ditampilkan dalam kemanusiaan Putra Allah: “in ipso in habitat omnis plenitudo divinitatis corporaliter”, dalam Dia berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan (Kol 2:9). Kristus yang menjadi manusia sejati dengan rahmat dan kebenaran (Yoh 1:14). Roh Kudus membagikan rahmat keputraan Ilahi dan semua rahmat kekudusan yang diperlukan dari wadah keputraan Ilahi melalui Gereja, yang adalah Tubuh Mistik Kristus, dalam liturgi dari sakramen-sakramen. Dengan demikian kita dapat lebih mengerti apa yang diajarkan Konsili Vatikan II :

Liturgia est culmen ad quod actio Ecclesiae tendit et simul fons unde omnis eius virtus emanat. (Sacrosanctum Concilium 10)

Liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan baptisan menjadi putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Korban dan menyantap perjamuan Tuhan. (SC 10)

II. Pastoral vademecum dari Konsili Vatikan Kedua

Dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, dalam konteks diskursus tentang keutamaan  penyembahan/ibadat dan adorasi yang harus diberikan kepada Allah, Konsili mempersembahkan sintesis yang kokoh dari teologi pastoral yang rasional dan sah secara teologis, semacam pastoral vademecum dengan mengikuti tujuh karakteristik:

Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan pertobatan (Yoh 17:3; Luk 24:17; Kis 2:38). Tetapi kepada Umat beriman pun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus (Mat 28:20), dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman Kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa dihadapan orang-orang. (SC, 9)

Dari uraian sintesis singkat ini yang diberikan kepada kita lewat Konsili, kita dapat menegakkan tujuh catatan pokok dari teori dan praktik pastoral.

1.Kewajiban untuk menyatakan Injil kepada semua kaum tak beriman (SC 9).

Pernyataan seperti ini haruslah eksplisit: bahwa, beriman kepada Yesus Kristus, yang kepadanya seseorang tiba oleh rahmat pertobatan (conversion) dan penyesalan akan dosa (repentance). Oleh karena itu, tidak ada ruang untuk teori dan praktik yang disebut “Kristen Anonim” , tidak ada penerimaan terhadap jalan-jalan keselamatan alternatif selain dari Jalan Kristus: Kristus adalah satu Perantara antara Allah dan manusia. Inilah yang diajarkan Konsili dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium :

Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja. (LG. 14)

Pada paragraf 8 dalam Konstitusi Dogmatis yang sama, Konsili mengatakan: “Unicus Mediator Christus” (lihat juga LG 28). Umat manusia yang diselamatkan dalam keabadian diselamatkan oleh penerimaan mereka dari jasa satu Perantara, Yesus Kristus, dalam kehidupan duniawi mereka (LG 49). Konsili Vatikan Kedua mengajarkan, dengan memberikan kutipan dari Konsili Trente: “per Filium eius Iesum Christum, Dominum nostrum, wui solus noster Redemptor et Salvator est” (LG 50). Dalam Deklarasi Kebebasan Beragama, Konsili mengajarkan bahwa setiap manusia ditebus oleh Kristus dan dipanggil menjadi anak Allah, yang dapat diterima hanya melalui sarana rahmat iman (Dignitatis humanae, 10).

Paus Paulus VI, dalam pidato pembukaan sesi kedua Konsili pada tahun 1963, mengajarkan: “Yesus Kristus adalah satu-satunya Guru Tertinggi dan Gembala, dan satu Perantara di antara Allah dan manusia” (Sacrosanctum Oecumenicum Concilium Vaticanum II. Constitutiones, Decreta, Declarationes, Citta del Vaticano 1966, hal. 905). Paus yang sama mengulangi perkataannya saat Konsili pada tahun berikutnya: “Yesus Kristus satu Perantara dan Penebus” (ibid, hal 989). Ajaran Konsili melanjutkan: “Sekarang, karena dia yang tidak mau percaya sudah dihakimi, sabda-sabda Kristus adalah satu dan pada saat yang bersamaan sabda-sabda penghakiman dan rahmat, maut dan kehidupan (Ad Gentes, 8). Aktivitas misionaris adalah kewajiban suci Gereja, karena ini merupakan kehendak Allah sendiri yang mendesak perlunya iman kepada Kristus dan baptisan untuk  memperoleh kehidupan kekal (AG 7).

2.Kewajiban untuk menyatakan iman kepada umat beriman (SC 9).

Tugas pokok Gereja terdiri dari menjaga iman umat beriman agar bertumbuh dan melindunginya dari bahaya kesalahan: oleh karena itu, hal ini berarti menjaga kemurnian, kelengkapan, dan vitalitas iman. Dalam pidatonya pada pembukaan Konsili Vatikan Kedua, Beato Paus Yohanes XXIII mendeklarasikan dengan tegas, dengan cara yang lebih efektif, bagaimana tugas utama Konsili adalah untuk menjadi pelindung dan pendukung ajaran iman: “ut sacrum christianae doctrinae depositum efficaciore ratione custodiatur atque proponatur” (loc, cit., hal 861). Paus yang berbahagia melanjutkan, dalam pelaksanaan kewajibannya di zaman kita, betapa Gereja tidak boleh memalingkan matanya dari warisan suci kebenaran, yang diterima dari Tradisi. Konsili harus menyebarkan doktrin Katolik dalam integritasnya, tanpa menguranginya dan tanpa mendistorsinya: “integram, non imminutam, non detortam tradere vult doctrinam catholicam.” Paus Yohanes sangat realistis mengamati bagaimana hal ini tidak diapresiasi oleh semua orang. Oleh karena itu perlu, kata Paus, bahwa seluruh doktrin Kristiani diterima di zaman kita oleh semua orang, tanpa menghilangkan satu bagian pun:  “oportet ut universa doctrina christiana, nulla parte inde detracta, his temporibus nostris ob omnibus aaccipiatur.” (ibid., 864)

Dalam menerima dan mempromosikan seluruh ajaran iman, kita harus mengikuti sebuah jalan yang akurat sesuai bentuk dan konsepnya, mengikuti contoh dari Konsili Trente dan Konsili Vatikan I, seperti yang ditegaskan kembali oleh Paus Yohanes XXIII. Dalam Deklarasi Kebebasan Beragama, Konsili mengingatkan umat beriman untuk “menyebarkan cahaya kehidupan dengan percaya diri, dengan segala keyakinan dan keberanian apostolik, bahkan sampai menumpahkan darah mereka.” (DH 14) Selanjutnya mereka memiliki “kewajiban besar…semakin mendalam menyelami kebenaran yang diterima dari pada-Nya, mewartakannya dengan setia, membelanya dengan berani.” (ibid) Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Konsili mendesak: “cinta kasih dan kebaikan hati itu janganlah sekali-kali menjadikan kita acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan. Bahkan cinta kasih sendiri mendesak para murid Kristus untuk menyiarkan kebenaran yang membawa keselamatan kepada semua orang” (GS 28). Paus Paulus VI, dalam pidato pembukaan sesi kedua Konsili Vatikan II menyatakan: “Dasar untuk pembaharuan Gereja harus dipelajari lebih seksama dan promosi yang lebih kaya akan kebenaran Ilahi” (loc. cit., hal. 913)

Dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam Konsili menyatakan dirinya sendiri dalam terminologi ini: “Pada jaman kita, masalah baru bangkit dan kesalahan-kesalahan yang sangat serius tersebar, yang mencoba meruntuhkan fondasi agama, tatanan moral, dan umat manusia itu sendiri.” (Apostolicam actuositatem, no 6). Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Konsili mengamati bagaimana kesalahan moral besar disebarkan, kemudian, dan mendesak semua umat Kristiani untuk membela dan mengembangkan martabat asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan. (GS 47). Konsili, pada dokumen yang sama, menegur kebiasaan yang tidak bermoral dalam hubungan pernikahan dan kebajikan kemurnian, mengatakan bahwa “poligami, wabah perceraian, apa yang disebut cinta-bebas dan penodaan-penodaan lainnya mempunyai efek yang mengaburkan” martabat pernikahan dan keluarga. “Ditambahkan lagi, cinta dalam pernikahan sering dicemarkan oleh cinta kepada diri sendiri yang berlebihan, penyembahan terhadap kesenangan dan praktik yang tidak sesuai (ilisit) dengan hukum melawan kelahiran manusia. Terlebih lagi, gangguan serius dalam keluarga disebabkan kondisi perekonomian modern, oleh pengaruh sosial dan psikologis, dan oleh tuntutan masyarakat sipil.” (ibid.) Konsili memberikan ajaran yang pasti tentang kemurnian pernikahan: “Bergantung kepada prinsip ini, putra-putra Gereja tidak boleh menjalankan metode pengendalian kehamilan yang pada dasarnya dicela oleh otoritas mengajar Gereja dalam mengembangkan hukum ilahi. (PIus XI, Casti Connubii). Semua harus dibujuk bahwa kehidupan manusia dan tugas untuk meneruskan hal ini bukanlah realitas yang terikat dengan dunia ini saja. Karenanya mereka tidak bisa diukur atau merasa dipersepsi hanya dalam hal itu saja, tapi selalu mempunyai hubungannya dengan takdir kehidupan kekal manusia.” (ibid., n. 51)

Dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja, Konsili mendesak bahwa setiap bentuk indifferentisme, sinkretisme, kebingungan perlu dienyahkan (AG 15). Dalam Konstitusi Gaudium et Spes, Konsili menolak humanisme duniawi belaka dan anti agama (no 56). Dokumen konsili yang sama berbicara tentang humanisme ateistis yang tidak hanya mengancam iman, tapi juga memberikan pengaruh yang negatif dan global dalam semua bidang kehidupan sosial:

Tetapi di pihak lain banyaklah kelompok cukup besar, yang menjauhkan diri dari pengalaman agama. Berbeda dengan masa lampau, penyangkalan terhadap Allah serta agama, atau tidak lagi mempedulikannya, merupakan hal yang biasa atau persoalan perorangan saja. Sebab dewasa ini tidak jaranglah sikap-sikap itu diperlihatkan sebagai tuntutan kemajuan ilmiah atau suatu humanisme baru. Itu semua di pelbagai daerah  bukan hanya diungkapkan dalam kaidah-kaidah para filsuf, melainkan secara sangat luas menyangkut dunia sastra dan alam kesenian, pun juga penfsiran arti ilmu-ilmu manusia dan sejarah, serta hukum-hukum sipil sendiri, sehingga banyak orang karena itu mengalami kekacauan batin. (ibid., no 7)

Paus Paulus VI, dalam homilinya saat sesi umum terakhir Konsili Vatikan II, menegaskan bahwa Konsili mengusulkan kepada semua orang di zaman kita sebuah ajaran teosentris dan teologis tentang kodrat manusia dan dunia (loc. cit., pp. 1064-1065). Pada homili yang diberikan pada sesi umum ke tujuh dari Konsili Vatikan II, 28 Oktober 1965, Paus Paulus VI menjelaskan bahwa meskipun secara umum hakikat konsili bersifat pastoral, ia bertujuan untuk mengusulkan ajaran Gereja yang abadi dan asli, mengecualikan relativisme doktrinal; Konsili sedang memenuhi sebuah karya

yang tidak melakukan historisasi, tidak merelatifkan, menurut metamorfosis dari budaya sekular, hakekat Gereja, selalu sama dan setia kepada dirinya sendiri seperti yang dikehendaki Kristus padanya dan sebagai tradisi yang autentik yang menyempurnakan dia, tapi membuatnya lebih baik dalam membawa misinya keluar melakukan perbuatan baik didalam kondisi masyarakat manusia yang diperbaharui. (loc. cit., pp. 1039-1040).

Dalam pidatonya yang diberikan pada tahun yang sama, 1965, pada kesempatan sesi publik yang kedelapan dari Konsili, Paus Paulus VI mengkritik kebiasaan mereka yang tidak tepat dan menyalahartikan secara abusif maksud Beato Paus Yohanes XXIII tentang adaptasi pastoral Gereja terhadap kebutuhan baru di zaman kita (“aggiornamento”). Selanjutnya, Paus menguraikan semangat Konsili dan menempatkan seriap orang untuk bersiaga menentang relativisme doktrinal dan yuridis, Paus menyatakan bahwa Paus Yohanes XXIII

dengan jelas tidak ingin mengatributkan perkataan yang sudah diprogramkan ini, kepada suatu makna yang  diusahakan oleh beberapa orang, seakan-akan setuju untuk “merelatifkan” semuanya di dalam Gereja menurut semangat dunia ini: dogma-dogma, hukum-hukum, struktur-struktur, tradisi-tradisi, ketika pengertian ajaran Gereja dan stabilitas struktural yang begitu hidup dan kokoh dalam dia untuk menjadikannya batu penjuru dari pemikirannya dan karyanya. Mulai sekarang hingga ke depannya, Aggiornamento akan mempunyai arti demikian bagi kita: yakni penetrasi kebijaksanaan dari perayaan semangat Konsili dan penerapannya yang setia terhadap norma-norma yang diberikan didalam kebijaksanaan yang suci dan bahagia. (loc. cit., pp. 1053-1054).

Pada teks Latin yang asli, Paulus VI tidak menggunakan kata “aggiornamento”tetapi kata “accomodatio”. Ungkapan terkenal “aggiornamento”  dari Beato Yohanes XXIII sekarang telah menjadi legenda. Dalam maksud aslinya, ungkapan ini tidak ada hubungannya dengan relativisme doktrinal, legal ataupun liturgis.

Sikap pastoral yang baru dan penuh kebajikan dari pemahaman penuh kesabaran dan dialog dengan masyarakat di luar Gereja tidak melibatkan ajaran relativisme. Paus Paulus VI membela Konsili dari kemungkinan tuduhan seperti itu dalam homili di atas selama sesi publik yang ketujuh: “Sikap ini…yang secara kuat dan terus menerus bekerja dalam Konsili, sampai pada titik untuk mengusulkan kecurigaan terhadap beberapa orang bahwa relativisme yang toleran dan sangat kuat terhadap dunia luar, terhadap sejarah yang fana, gaya budaya, kebutuhan temporer, pemikiran terhadap orang lain, telah mendominasi pribadi dan tindakan-tindakan dalam sinode ekumenis, yang mengorbankan ketaatan yang harus diberikan kepada tradisi dan merusak orientasi religius dari konsili. Kami tidak percaya bahwa kemalangan ini harus ditimpakan kepadanya, dalam intensinya yang nyata mendalam, dan dalam perwujudannya yang otentik” (loc. cit., p. 1067). Di sini, Paulus VI hanya membela intensi yang nyata dan mendalam dan perwujudan Konsili yang otentik, tidak masuk ke dalam jasa pribadi seseorang.

Konsili dengan jelas menolak segala macam sinkretisme agama dalam aktivitas misionaris dan menghendaki tradisi partikular masyarakat diterangi oleh cahaya Injil, selalu bersentuhan dengan primasi Takhta Petrus (AG, 22).

3.Kewajiban mewartakan penyesalan akan dosa (repentance) kepada umat beriman (SC, no. 9).

Seseorang tidak dapat berbicara tentang ajaran dan praktik pastoral yang benar tanpa unsur penyesalan akan dosa yang hakiki dalam kehidupan Gereja dan umat beriman. Setiap pembaharuan yang sejati dalam sejarah terjadi bersamaan dengan semangat dan praktik pertobatan Kristiani. Konstitusi dogmatis Lumen Gentium no. 8 menyatakan bahwa Gereja harus secara terus menerus maju di jalan penyesalan akan dosa dan pembaharuan. Kemudian ia berkata bahwa umat beriman harus menaklukkan dosa yang berkuasa dalam diri mereka dengan penyangkalan diri serta dengan hidup suci (ibid., no. 36). Dalam aktivitas misionaris, anak-anak Gereja tidak boleh malu karena skandal Salib (AG, no. 24).

Kita dapat memahami semangat sejati ajaran konsili ini tentang perlunya penyesalan akan dosa dengan lebih baik, jika kita mengingat fakta bahwa, pada 1 Juli 1962, Pesta Darah Maha Mulia, sebelum pembukaan Konsili, Beato Yohanes XXIII mendedikasikan seluruh ensiklik tentang perlunya pertobatan dengan judul Paenitentiam agere. Ensiklik ini berbicara tentang ajakan yang mendesak kepada dunia Katolik dan anjuran untuk berdoa dengan lebih intens, dan pertobatan yang memohon Rahmat terhadap Konsili yang segera berlangsung. Paus menunjukkan pemikiran dan praktik Gereja, sebagai contoh konsili-konsili terdahulu, mengingat perlunya pertobatan lahiriah dan batiniah sebagai kerjasama dengan penebusan Ilahi. Secara konkrit Paus Yohanes XXIII merekomendasikan peristiwa pertobatan syafaat di setiap keuskupan, yang menjelaskan bagaimana

dengan karya kerahiman dan pertobatan semua umat beriman memohon kepada Allah Yang Mahakuasa dan meminta dengan sangat kepada-Nya agar pembaharuan sejati dari semangat Kristiani yang merupakan tujuan pokok konsili (n. II, 2)

Paus kemudian melanjutkan:

Pada faktanya, Pendahulu kita Pius XI dengan kenangan yang mulia dengan tepat melihat: “Doa dan pertobatan adalah dua sarana yang ditempatkan pada disposisi Allah di zaman kita untuk mengarahkan kepada-Nya kelemahan manusia yang berkelana tanpa panduan; merekalah yang membawa pergi dan memperbaiki penyebab pertama dan utama dari kebingungan kita, yang merupakan pemberontakan manusia melawan Allah”(Ensiklik Caritate Christi compulsi) (ibid.)

Yohanes XXIII mengarahkan seruan ini kepada para Uskup dengan bersemangat: “Saudara-saudaraku yang dimuliakan, lakukanlah setiap usaha tanpa menunda lagi dengan segala cara yang ada dalam kuasamu, agar umat Kristiani yang dipercayakan kepada perlindunganmu dapat memurnikan jiwa mereka dengan semangat pertobatan dan membangkitkan diri mereka sendiri semangat kesalehan yang lebih besar lagi.” (no. II, 3)

Semangat pertobatan dan penebusan harus selalu menjiwai setiap pembaharuan sejati Gereja, seperti yang diharapkan oleh Paus Yohanes XXIII terhadap apa yang dihasilkan Konsili Vatikan Kedua. Sikap ini melindungi Gereja dari semangat aktivitas duniawi. Seperti yang Paus ajarkan di akhir ensikliknya:

Betapa tontonan yang sangat bagus dan membesarkan hati dari dorongan religius, untuk dapat melihat bala tentara Kristiani yang tidak terhitung di seluruh dunia mendevosikan dirinya sendiri dengan doa yang tekun dan penyangkalan diri secara sukarela dalam menanggapi permohonan kita! Ini adalah semacam hasrat religius yang harus diilhami oleh putra-putri Gereja. Semoga teladan mereka dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang begitu terbenam urusan dunia ini hingga mereka lalai [dalam menjalankan] tugas mereka kepada Allah. (ibid)

Dalam kata-kata berikutnya kita dapat menangkap semangat sejati yang menjiwai Paus Konsili dan tentu saja pars maior et sanior dari Bapa-Bapa Konsili:

Mereka harus menanggalkan itu [hedonisme duniawi] dengan segenap tenaga dan keberanian yang ditunjukkan oleh para martir dan heroisme pria dan wanita yang telah menjadi kemuliaan Gereja di setiap zaman dalam sejarahnya. Jika semua orang melakukan ini, setiap orang dalam tempatnya sendiri dalam kehidupan, ia akan mampu memainkan bagiannya sendiri dalam membuat Konsili Ekumene Vatikan II ini, yang khususnya terkait dengan pembaharuan moralitas orang Kristiani, menjadi sebuah kesuksesan yang menonjol. (ibid., no. II,2).

4.Kewajiban untuk mempersiapkan umat beriman menerima sakramen (SC, n. 9).

Konsili, dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, mengajarkan bahwa sakramen-sakramen adalah sarana utama ketika semua umat beriman dalam setiap keadaan dan kondisi dipanggil oleh Tuhan kepada kesempurnaan kekudusan (n. 11). Tujuan akhir dari sakramen meliputi, menurut Sacrosanctum Concilium n. 59, pengudusan manusia, pembangunan Tubuh Mistik Kristus, dan penyembahan yang seharusnya diberikan kepada Allah. Sangat jarang dalam sejarah Gereja, Magisterium tertinggi begitu bersikeras terhadap pentingnya dan sentralitas liturgi suci, dan secara khusus Kurban Ekaristi, seperti yang telah dilakukan oleh Konsili Vatikan II. Fakta bahwa dokumen pertama dari Konsili diperdebatkan dan [akhirnya] disetujui adalah dokumen yang dibaktikan kepada liturgi, yaitu, kepada penyembahan Ilahi, merupakan hal yang sungguh bermakna dan menunjukkan pesan yang jelas tentang kedudukan tertinggi Allah: Allah dan penyembahan yang Gereja berikan kepada-Nya harus menempati tempat pertama dalam segala kehidupan dan aktivitas Gereja. Sacrosanctum Concilium mengajarkan kepada kita: “Sacra Liturgia est precipue cultus divinae maiestatis” (n. 33), dan penyembahan kepada keagungan Ilahi harus menjadi puncak dari segala aktivitas Gereja: “Liturgia est culmen ad quod actio Ecclesiae tendit et simul fons unde omnis eius virus emanat” (n. 10)

Liturgi kudus adalah sumber utama dan perlu bagi semangat Kristiani, seperti yang tertulis dalam Dektrit tentang Pembinaan Imam (Optatam totius, n. 16). Tujuan dari semua sakramen ditemukan, pada akhirnya, dalam misteri ekaristi, yang menegakkan Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, mengutip St. Thomas Aquinas: “Eucharistia est omnium sacramentorum finis” (Summa Theologica, III, q. 73 a. 3 c) dan menambahkan: “In Sanctissima enim Eucharistia totum bonum spirituale Ecclesiae continetur” (St. Thomas, Summa Theologica, III, q. 65, a. 3, ad 1), (Presbyterorum Ordinis,  n. 5). Dokumen yang sama mengatakan lagi bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak dari semua kehidupan pastoral Gereja. Dalam Sacrosanctum Concilium kita menemukan sintesis ini:  “Secara khusus dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, rahmat diperoleh bagi kita, seperti berasal dari mata air,  dan pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, yang kepadanya semua aktivitas Gereja memuncak sebagai tujuan akhir mereka, diperoleh darinya dengan daya guna yang terbesar” (n. 10)

5.Kewajiban untuk mengajarkan kepada umat beriman semua perintah Allah (SC, n. 9).

Unsur lainnya dari aktivitas pastoral adalah ini: “Kepada Umat beriman pun Gereja selalu wajib mewartakan…mengajar mereka menaati segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus” (SC, n. 9). Oleh karena itu para Gembala Gereja mempunyai tugas mengajarkan hukum Ilahi dan perintah-Nya dengan utuh. Dalam Pernyataan tentang Kebebasan Beragama Konsili menyatakan: “tolok ukur hidup manusia yang tertinggi ialah hukum ilahi sendiri, yang bersifat kekal serta objektif, dan berlaku bagi semua orang, yakni bahwa menurut ketetapan kebijaksanaan dan cinta kasih-Nya Allah mengatur, mengarahkan serta memerintahkan alam semesta dan perjalanan masyarakat manusia” (DH, n. 3). Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes mempertahankan: “Dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili.” (n. 16) Masih dalam dokumen pastoral yang sama menyatakan: “Hendaknya suami-istri kristiani dalam cara mereka bertindak menyadari, bahwa mereka tidak dapat mengambil langkah-langkah semaunya sendiri saja; tetapi harus selalu dituntun oleh suara hati, yang harus disesuaikan dengan hukum ilahi sendiri; mereka harus taat terhadap Wewenang Mengajar Gereja, yang dalam terang Injil memberi tafsiran otentik kepada hukum itu.” (Gaudium et Spes, n. 50)

Konsili melanjutkan, dengan mengatakan: “Perceraian antara iman yang diikrarkan dan hidup sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai sesuatu yang cukup gawat pada zaman sekarang ini.” (ibid., n. 43) Kesalahan ini bahkan telah menjadi nyata di tahun belakangan ini, dengan melihat fenomena masyarakat  yang, ketika menyatakan diri sebagai seorang Katolik, pada saat yang bersamaan mendukung hukum yang bertentangan dengan hukum kodrati dan juga hukum Ilahi, dan secara terbuka menentang Magisterium Gereja. Perkataan Konsili ini sekarang bergema: “Oleh karena itu janganlah  ada oposisi palsu antara aktivitas profesional dan sosial di satu sisi, dengan kegiatan religius di sisi lain” (GS, n.43) Kehidupan moral, rumah tangga, profesional, ilmu pengetahuan, dan sosial harus di tuntun oleh iman dan diarahkan kepada kemuliaan Allah (ibid). Mari kita mengamati lagi, pada ajaran Konsili ini, pentingnya pokok dari kehendak Allah dan kemuliaan-Nya dalam setiap kehidupan umat beriman dan semuanya bagi Gereja. Konsili menegaskan hal ini tidak saja dalam dokumen liturgi, tapi juga dalam dokumen pastoral par excellence: Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes.

6.Kewajiban untuk mempromosikan kerasulan awam umat beriman  (SC, n. 9).

Hal-hal penting lainnya dari kehidupan pastoral adalah ini: “kepada Umat beriman pun Gereja selalu wajib …mengundang mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan.” (SC, n. 9) Pada poin ini terletak kontribusi sejarah Konsili Vatikan II untuk mengangkat martabat dan tugas spesifik umat awam beriman dalam kehidupan dan aktivitas Gereja. Seseorang dapat berkata bahwa ini adalah perkembangan organik dan penyempurnaan Magisterium Paus Paulus VI terkait umat awam beriman. Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium memberikan kepada kita sintesis yang menakjubkan perihal umat awam beriman dalam Gereja dan dalam dunia dengan dasar teologi yang solid dan arahan pastoral yang jelas, dokumen tersebut mengatakan:

Selain itu hendaklah kaum awam dengan kerja sama yang erat menyehatkan lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi masyarakat, bila lembaga-lembaga tersebut merupakan bujukan kepada dosa, agar itu semua disesuaikan dengan norma-norma keadilan, dan menunjang pengamalan keutamaan-keutamaan, bukan malahan merintanginya. Dengan demikian mereka meresapi kebudayaan dan kegiatan manusia dengan nilai moral. Begitu pula ladang dunia disiapkan lebih baik untuk menampung benih sabda ilahi; pun pintu gerbang Gereja terbuka lebih lebar, supaya pewartaan perdamaian dapat memasuki dunia.

Demi terlaksananya tata-keselamatan hendaklah kaum beriman belajar membedakan dengan cermat antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka selaku anggota Gereja, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat manusia. Hendaklah mereka berusaha memadukan keduanya secara selaras, dengan mengingat bahwa dalam perkara duniawi mana pun mereka wajib menganut suara hati kristiani. Sebab tidak ada tindakan manusia satu pun, juga dalam urusan-urusan duniawi, yang  dapat dilepaskan dari kedaulatan Allah. Tetapi pada zaman kita sekarang sangat perlu bahwa dalam cara bertindak kaum beriman pembedaan dan sekaligus keselarasan itu menjadi sejelas mungkin, supaya perutusan Gereja dapat lebih penuh menanggapi situasi-situasi khas dunia masa kini. Sebab memang harus diakui bahwa masyarakat duniawi, yang dengan tepat menyelenggarakan urusan-urusan duniawi, mempunyai azas-azasnya sendiri. Begitu pula sudah sepantasnya ditolak ajaran sesat, yang memperjuangkan pembangunan masyarakat tanpa mengindahkan agama sedikitpun, dan bermaksud memerangi serta menghapus kebebasan beragama para warga negara. (n. 36)

Di sini Konsili mengutuk sekularisme tanpa menggunakan kata tersebut, mengutip Leo XIII (Ensiklik Immortal Dei, Nov. 1, 1885: ASS 18 (1885), pp. 166ff. idem, Ensiklik Sapientiae Christianae, Jan. 10, 1890: AAS 22 (1889-90), pp. 387ff. Pius XII, Ceramah Alla vostra filiale, Maret 23, 1958: AAS 50 (1958), p. 220), yang mengatakan bahwa “pengaruh awam yang sehat dan sah untuk negara adalah salah satu prinsip doktrin Katolik.” (ibid) Paus kemudian melanjutkan, dengan mengatakan: “kehidupan individu, kehidupan keluarga, kehidupan kolektivitas yang besar dan kecil, akan dipelihara oleh ajaran Yesus Kristus, yang adalah kasih Allah dan di dalam Allah, mengasihi sesama.” Doktrin ini menemukan di dalamnya unsur-unsur hakikinya, sebuah gema yang jelas dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja dan Konstitusi Patoral dari Konsili Vatikan Kedua.

Tentang panggilan yang pantas bagi awam, Konsili berkata “kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah.” (Lumen Gentium, n. 31) Dalam Dekrit Kerasulan Bagi Awam, Konsili berbicara tentang pemujaan terhadap hal-hal duniawi karena kepercayaan yang berlebihan dalam mengandalkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi. (AA, n. 7) Konsili melanjutkan, menyatakan bahwa perkawinan dan kehidupan berkeluarga adalah tempat ketika agama Kristiani meresap semua organisasi kehidupan dan mengubahnya setiap hari. Pada waktu yang bersamaan, keluarga Krsitiani menyatakan dengan suara yang jelas kehadiran kekuatan Kerajaan Allah dan harapan bagi kehidupan kekal. Dengan cara ini, dengan contohnya dan dengan kesaksiannya, ia menuduh dunia karena dosa dan menerangkan mereka yang mencari kebenaran (ibid).Kita dapat mengamati di sini betapa relevan ungkapan konsili ini : Orang Kristiani dan keluarga Katolik adalah penuduh yang hidup terhadap dunia, menuduh dunia yang berdosa.

Bentuk khusus lainnya dari kerasulan awam terdiri dari kesaksian terhadap iman, harapan dan kasih: hal ini tidak termasuk, oleh karena itu, kerasulan aktivisme dan ketertarikan terhadap keduniawian. Kita dapat menemukan dalam Dekrit tentang Awam sebuah laporan singkat vademecum tentang kerasulan awam, ketika Konsili mengajarkan bahwa bentuk internal dari kerasulan awam haruslah kesesuaian terhadap penderitaan Kristus, dan tujuan dari kerasulannya adalah keselamatan kekal masyarakat dunia. Konsili mengatakan: “Hendaklah segenap umat mengingat, bahwa dengan ibadat resmi dan doa, dengan bertobat dan secara suka rela menerima jerih-payah serta kesukaran-kesukaran hidup, yang menjadikan mereka serupa dengan Kristus yang menderita sengsara (lih. 2Kor 4:10; Kol 1:24).” (AA, n. 16). Sering kerasulan awam meletakkan bahkan hidupnya dalam bahaya karena kesetiaanya, demikian kata Konsili. (ibid., n. 17)

7.Kewajiban untuk mempromosikan panggilan semua orang kepada kekudusan (SC, n. 9).

Catatan terakhir yang hakiki dalam aktivitas pastoral didalam Gereja terdiri dari mempromosikan panggilan semua orang kepada kekudusan. (SC, n. 9) Lebih spesifik, Konsili memberi tema ini didalam bab lima dari Konstitusi Dogmatik  Lumen Gentium, nn. 39-42. “De universali vocatione ad sanctitatem in Ecclesia.” Di sini dapat dillihat sejarah yang sebenarnya dan kontribusi paling spesifik dalam Konsili Vatikan Kedua. Kekudusan pada dasarnya terdiri dari menyerupai Kristus, Kristus yang miskin dan rendah hati, Kristus yang membawa Salib, kata Konstitusi Lumen Gentium, n. 41. Menyerupai Kristus menjangkau puncaknya dalam kemartiran, dalam kesaksian pada Kristus yang sangat berani di depan manusia. (ibid., n. 42). Konsili mengatakan: “Semua harus siap-sedia mengakui Kritus di hadapan banyak orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja.” (ibid)

III. Tujuan otentik dan maksud dari Konsili Vatikan II

Untuk membaca secara tepat dari teks Konsili Vatikan II, kita perlu memperhitungkan juga ciri spesifik dari waktu ketika hal tersebut berkembang. Dalam homili Paus Paulus VI selama pertemuan kongregasi yang terakhir dalam Konsili Vatikan II pada tanggal 7 Desember 1965, Bapa Suci memberikan gambaran sebagai berikut tentang periode historis ketika Konsili Vatikan Kedua pernah dirayakan:

Merupakan hal yang perlu untuk mengingat waktu ketika hal itu kemudian disadari: sebuah waktu ketika setiap orang mengakuinya diarahkan menuju penaklukkan kerajaan bumi daripada surga; sebuah waktu ketika melupakan Allah telah menjadi kebiasaan, dan tampaknya, secara agak keliru, hal ini didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan; sebuah waktu ketika tindakan dasar dari pribadi manusia, lebih menyadari dirinya sekarang dan kebebasannya, cenderung untuk menyatakan hal yang mendukung otonominya yang absolut, dalam emansipasi dari setiap hukum yang transenden; sebuah waktu ketika sekularisme tampak menjadi konsekuensi yang sah dari pemikiran modern dan kebijaksanaan tertinggi didalam pemerintahan sosial yang fana; sebuah waktu, terlebih, ketika jiwa dari manusia telah mengungkapkan di dalamnya irasionalitas dan kekeringan; sebuah waktu, yang pada akhirnya, ditandai oleh pergolakan dan kemunduran yang tidak diketahui sampai sekarang bahkan di dalam agama besar dunia. Dalam waktu seperti itulah konsili kita digelar untuk menghormati Allah. (loc. cit., pp. 1063-1064)

Menurut ungkapan dari Beato Paus Yohanes XXIII dalam pidato yang ia berikan pada pertemuan kongregasi yang terakhir dari sesi pertama Konsili, 7 Desember 1962, sebuah tujuan dari Konsili dan sebuah harapan dan kepercayaan diri dari Paus dan Bapa-Bapa Konsili terkandung di dalam perkataan ini: “Untuk membuat Injil Kritus lebih dikenali oleh manusia di zaman kita, agar dipraktikkan dengan sepenuh hati dan bahwa ia merasuk secara mendalam di setiap aspek masyarakat.” (loc. cit., pp. 881-882). Apakah ada prinsip dan metode pastoral yang lebih otentik dan katolik daripada ini?

Dalam amanat penutupan sesi pertama Konsili Vatikan II, 8 Desember 1962, Paus Yohanes XXIII mempersembahkan tujuan sejati dari Konsili dan buah-buah rohaninya yang diinginkannya dengan cara ini: “Agar Gereja Kudus, teguh dalam iman, diperkuat dalam harapan, dan lebih bergairah dalam kasih, dapat maju dengan kekuatan yang baru dan segar, dan dibentengi oleh hukum yang maha kudus, lebih efektif dan lebih tegas dalam memenuhi Kerajaan Kristus.” (Surat tulisan tangan kepada Uskup Jerman, 11 Januari 1962)…Sekarang Kerajaan Kristus di bumi akan diperluas dengan pertumbuhan baru. Sekarang berita yang baik dari penebusan manusia akan bergema lebih keras dan manis di dalam dunia; dengan cara demikian hak tertinggi Allah Yang mahakuasa, ikatan kasih persaudaraan di antara manusia, perdamaian yang telah dijanjikan di bumi ini kepada manusia yang mempunyai keinginan baik akan ditegaskan.” (loc. cit., p. 891). Menurut intensi dan keinginan dari Bapa Suci Yohanes XXIII, Konsili Vatikan II telah memberikan kontribusi yang kuat kepada tujuan akhir berikut ini: “bahwa didalam seluruh keluarga manusia buah dari iman, harapan dan kasih akan tumbuh sangat berlimpah-limpah.” Menurut perkataan Yohanes XXIII, dalam hal ini terdiri makna dan martabat tunggal dari Konsili (ibid).

IV. Tantangan terhadap interpretasi yang berlawanan

Untuk menafsirkan dengan benar perlu diperhitungkan tujuan yang dinyatakan dalam dokumen-dokumen konsili itu sendiri dan dalam perkataan spesifik dari Paus Yohanes XXIII dan Paulus VI. Pada akhirnya, perlu sekali menemukan benang yang menuntun kepada semua karya Konsili, yang merupakan salus animarum, yaitu, intensi pastoral. Hal ini, pada gilirannya, bergantung dan tunduk kepada promosi penyembahan Ilahi dan kemuliaan Allah, yakni, bergantung kepada kedudukan tertinggi/primasi Allah. Kedudukan tertinggi Allah dalam kehidupan dan semua aktivitas Gereja ditunjukkan dengan tegas dalam fakta bahwa Konstitusi tentang Liturgi dengan sengaja dan secara berurutan menempati tempat pertama dalam banyak karya di Konsili. Tujuh catatan hakiki untuk teori dan praktik pastoral ditemukan dengan jelas dalam Konstitusi yang berhubungan dengan penyembahan Allah dan kekudusan manusia, nomor 9 dari Sacrosanctum Concilium, dan mereka adalah: 1. Urgensi untuk mewartakan Kristus kepada umat yang tidak percaya agar mereka dapat menjadi Katolik; 2. Perhatian terbesar tentang pewartaan ajaran iman; 3. Peran pertobatan yang hakiki dalam kehidupan Gereja; 4. Sakramen sebagai sarana utama keselamatan dan pengudusan, dimana Ekaristi menempati tempat yang sentral dan tertinggi; 5. Integritas dari ajaran moral; 6. Kerasulan dari kaum awam beriman didalam Gereja dan umat manusia; 7. Panggilan universal kepada kekudusan.

Karakterisik dari keterputusan dalam penafsiran teks konsili ditunjukkan dalam cara yang paling stereotipikal dan menyebar pada tesis antroposentris, sekularisasi, atau perubahan naturalistik oleh Konsili Vatikan Kedua dalam memandang tradisi gereja terdahulu. Satu perwujudan yang paling terkenal dari tafsiran yang membingungkan, misalnya, yang disebut Teologi Pembebasan dan praktik pastoral selanjutnya yang bersifat menghancurkan. Kontras antara teologi pembebasan dan praktiknya, dan Konsili, menjadi nyata dalam ajaran konsili berikut: “tugas yang tepat yang telah Kristus percayakan kepada Gereja-Nya bukanlah pada tatanan politik, ekonomi atau sosial: faktanya, tujuan yang telah Ia tetapkan adalah tatanan keagamaan.” (GS, 42). Di dokumen yang sama kemudian dikatakan bahwa hakikat dan misi Gereja tidak terikat kepada sistem politik, ekonomi, atau sosial tertentu. (ibid) Konstitusi Gaudium et Spes mengutip perkataan Pius XII berikut:

Pendirinya yang Ilahi, Yesus Kristus, tidak memberikan mandat apapun atau menetapkan tujuan dari tatanan kebudayaan. Tujuan yang Kristus berikan kepadanya, secara tegas bersifat keagamaan…Gereja harus memimpin manusia kepada Allah, agar mereka dapat menyerahkan diri mereka kepada-Nya tanpa syarat…Gereja tidak dapat kehilangan pandangan yang bersifat keagamaan, tujuan supernatural. Arti dari semua aktivitas, terletak pada akhir Kitab Kanon, hanya dapat bekerja sama langsung atau tidak langsung didalam tujuan ini. (Pius XII, Pidato kepada International Union of Institutes of Archeology, History and History of Art, 9 Maret, 1956: AAS 48 (19 65), p. 212)

Tafsiran yang terputus yang berkenaan dengan bobot doktrinal yang lebih kecil ditunjukkan di area pastoral-liturgis. Seseorang dapat mengutip dalam topik ini hilangnya kesucian dan karakter yang luhur dari liturgi dan pengenalan unsur sikap tubuh yang lebih antroposentris. Fenomena ini menjadi nyata dalam tiga praktik liturgis yang telah dikenal dan tersebar di semua paroki Katolik seluruh dunia: hampir menghilangnya secara total penggunaan bahasa latin, penerimaan Ekaristi Tubuh Kristus secara langsung pada tangan dan dengan berdiri, dan perayaan Korban Ekaristi yang dilakukan dengan seperti lingkaran tertutup ketika imam dan umat secara berkesinambungan melihat wajah satu sama lain.  Sikap berdoa seperti ini, yaitu: tidak semua menghadap ke arah yang sama, yang merupakan ungkapan jasmani dan simbolis yang lebih alami berkenaan dengan hormat kepada kebenaran bahwa semua orang secara rohani menghadap kepada Allah dalam penyembahan publik, bertentangan dengan praktek yang Yesus lakukan sendiri dan murid-murid-Nya dalam doa publik di bait Allah atau di synagoga. Selain itu, hal ini juga menyangkal kesaksian Bapa Gereja dan semua tradisi sebelumnya dari Gereja Timur dan Barat yang bersuara bulat tentang hal ini. Ketiga praktik liturgis dan pastoral ini, dalam keterputusan dengan hukum doa yang dipertahankan oleh generasi umat beriman Katolik hampir seribu tahun, tidak mendapat dukungan dari teks konsili, bahkan bertentangan salah satu teks yang spesifik dari Konsili (tentang bahasa latin, lihat Sacrosanctum Concilium, n. 36, § 1; 54),  atau “mens”, tujuan asli dari Bapa konsili, seperti dapat diverifikasi dalam Tindakan Konsili.

Dalam kegemparan penafsiran dari interpretasi yang saling bertentangan dan kekacauan aplikasi liturgis dan pastoral, Konsili sendiri yang bersatu dengan Paus, tampil sebagai satu-satunya interpretasi yang asli dari teks konsili. Seseorang dapat membuat analogi dengan kondisi kekacauan penafsiran suasana dari abad pertama Gereja, yang diprovokasi oleh interpretasi biblis dan doktrin yang berubah-ubah di sisi kelompok heterodox. Dalam karyanya yang terkenal De praescriptione haereticorum Tertulian mampu melawan bidah dari bermacam orientasi. Kenyataannya, hanya Gerejalah pemilik sah dari iman, Sabda Allah dan tradisi. Karenanya dalam memperdebatkan tentang interpretasi yang benar, Gereja mampu mengusir bidah “a limine fori”. Hanya Gereja yang mampu berkata, menurut Tertulian: “Ego sum heres Apostolorum” (Praescr., 37, 3). Berbicara secara analogis, hanya Magisterium tertinggi yaitu Paus atau Konsilli Ekumene berikutnya yang mampu berkata: “Ego sum heres Concilii Vaticani II”.

Dalam dekade sebelumnya pernah ada, dan ada hingga hari ini, kelompok di dalam Gereja yang melakukan pelecehan yang sangat hebat tentang karakter pastoral dari Konsili dan teksnya, yang ditulis menurut tujuan pastoral, karena Konsili tidak berkeinginan untuk menghadirkan definisinya sendiri atau ajaran yang tidak dapat direvisi atau diubah. Dari hakikat pastoral teks-teks Konsili menjadi nyata bahwa teks-teks adalah, pada prinsipnya, terbuka kepada penyelesaian lebih lanjut dan kepada klarifikasi doktrin yang lebih besar. Mempertimbangkan pengalaman beberapa dekade sejak saat itu, terhadap interpretasi doktrinal dan kebingungan pastoral, dan berlawanan terhadap kesinambungan, lebih dari dua milenium, dari doktrin dan doa iman, keharusan dan urgensi timbul untuk intervensi yang spesifik dan otoratif oleh Magisterium kepausan untuk interpretasi yang asli dari teks-teks konsili dengan penyelesaian dan klarifikasi doktrinal: seperti sejenis “Syllabus errorum circa interpretationem Concilii Vaticani II”. Ada kebutuhan untuk Silabus baru, yang saat ini tidak diarahkan terhadap kekeliruan yang berasal dari luar Gereja, tapi diarahkan kepada kesalahan yang menyebar di dalam Gereja, di pihak mereka yang memelihara tesis yang terputus bersamaan dengan penerapan doktrinal, liturgis dan pastoral. Silabus seperti ini akan mengandung dua bagian: bagian yang menandai kesalahan-kesalahan dan bagian yang positif dengan proposisi klarifikasi doktrin, penyelesaian, dan ketepatan.

Dua pengelompokan yang mempertahankan teori rupture menjadi jelas. Satu dari pengelompokkan tersebut mencoba untuk memprotestankan kehidupan Gereja secara doktrinal, liturgis dan pastoral. Pada sisi lainnya kelompok tradisionalis, dengan membawa nama tradisi, menolak Konsili, dan menghindari kepatuhan kepada Magisterium Gereja yang tertinggi, Kepala Gereja yang kelihatan, tunduk hanya kepada Kepala Gereja yang tidak terlihat, menunggu waktu yang tepat.

Selama Konsili, Paus Paulus VI menjelaskan pengertian pembaharuan sejati Gereja dengan cara seperti ini:

“Kami berpikir bahwa psikologi Gereja yang harus berkembang bersamaan dengan jalur ini: klerus dan umat beriman akan menemukan karya rohani yang sangat bagus, ditemukan melalui pembaharuan hidup dan aktivitas menurut Kristus Tuhan; dan Kita mengundang Saudara-Saudara Kita dan Putra Kita kepada karya ini: biarkan mereka yang mencintai Kristus dan Gereja-Nya bersama dengan kita dalam menyatakan lebih jelas arti dari kebenaran, yang pantas kepada tradisi ajaran yang dimulai Kristus dan Para Rasul; dan dengan itu makna dari disiplin gereja makna persatuan yang mendalam dan manis, yang membuat kita semua yakin dan bersatu, sabagai satu tubuh.” (Paulus VI, Pidato sesi kedelapan publik Konsili Vatikan Kedua, Nov. 18, 1965, loc. cit., p. 1054)

Paus Paulus VI, menjelaskan mens dari Konsili, menyatakan dalam pidatonya selama sesi publik kedelapan: “Agar semua dapat dikuatkan dalam semangat pembaharuan, kami mengusulkan kepada Gereja untuk mengingat sepenuhnya kata-kata dan contoh dua Pendahulu kita sebelumnya, Pius XII dan Yohanes XXIII, kepadanya Gereja sendiri dan seluruh dunia berhutang; dan pada akhirnya, kami mengarahkan bahwa proses beatifikasi Bapa Suci, yang terbaik dan saleh dan kesayangan kita, dimulai kanonisasinya. Dengan cara ini, keinginan yang diungkapkan oleh salah satu dan lainnya akan menjadi yang kedua, dalam beberapa hal, oleh suara yang tak terhitung; dengan cara ini kebapaan dari warisan rohani mereka akan diamankan demi sejarah; dan akan mencegah motif lainnya selain penghormatan kekudusan sejati – yaitu, kemuliaan Allah dan kemajuan Gereja-Nya – akan menyusun ulang keaslian mereka dan gambaran kesayangan yang kita hormati dan untuk masa depan.” (Paulus VI, Pidato sesi kedelapan Konsili Vatikan Kedua, Nov. 18, 1965, loc, cit., p. 1054)

Terdapat dua rintangan yang bertentangan dengan tujuan asli Konsili dan buah dari Magisterium yang melimpah dan abadi. Pertama ditemukan di luar Gereja, dalam proses kekerasan kultur dan revolusi sosial pada tahun 1960, yang mana, seperti setiap fenomena sosial yang kuat, mereka menembus  ke dalam Gereja, mencemari orang dan institusi dengan jarak yang sangat banyak dengan semangat keterputusan. Rintangan lainnya ditunjukkan dengan kurangnya kebijaksanaan dan Gembala Gereja yang berani dan siap untuk membela kemurnian dan integritas iman dan liturgi serta kehidupan pastoral, tidak membiarkan mereka dipengaruhi baik oleh pujian atau oleh ketakutan (‘nec laudibus, nec timore”).

Konsili Trente menyatakan dalam salah satu dekritnya tentang reformasi umum Gereja: “Sinode kudus, terguncang oleh kejahatan besar yang menyusahkan Gereja, tidak dapat gagal untuk memanggil kembali bahwa hal yang paling penting bagi Gereja Allah adalah…untuk memilih yang baik dan gembala yang paling sesuai; dengan semua alasan yang lebih, karena seperti Tuhan kita Yesus Kristus akan memanggil gembala yang lalai, yang tak menghiraukan tugas mereka, untuk menanggung darah para domba yang mungkin binasa karena pemerintahan yang buruk.” (Sessio XXIV, Decretum de reformatione, can. 1) Konsili kemudian melanjutkan: “Karenanya kepada semua yang dengan alasan apapun telah menerima dari Takhta Suci hak untuk campur tangan dalam promosi prelatus di masa depan, dan kepada mereka yang mengambil bagian dengan cara lain…Konsili kudus menyerukan kepada mereka dan mengingatkan mereka untuk mengingat terutama bahwa mereka tidak dapat melakukan hal yang lebih berguna kepada kemuliaan Allah dan kepada keselamatan semua orang, selain mendedikasikan diri mereka sendiri untuk memilih gembala yang baik dan pantas untuk memerintah Gereja.” (ibid)

Jadi sungguh ada kebutuhan untuk menerbitkan sebuah silabus konsili dengan nilai-nilai doktrinal, dan selain itu diperlukan peningkatan jumlah gembala yang berani, kudus, dan sangat berakar dalam tradisi Gereja, bebas dari segala jenis mentalitas rupture (keterputusan) baik dalam hal doktrinal atau liturgis. Kenyataannya, kedua unsur ini merupakan syarat mutlak agar doktrin, liturgi, dan kekacauan pastoral tersebut dapat berkurang secara khusus dan karya pastoral dari Konsili Vatikan Kedua dapat melahirkan buah yang berlimpah dan kekal dalam semangat tradisi, yang mengabungkan kita dengan semangat yang berkuasa sepanjang waktu, di mana pun, dan dalam semua anak-anak sejati Gereja Katolik, yang adalah satu –satunya Gereja Allah yang sejati di bumi.

_________________________________

Roma, 17 Desember 2010

“Konsili Ekumene Vatikan Kedua: sebuah konsili pastoral. Analisis historis-filosofis-teologis.

Konferensi pembelajaran tentang Konsili Vatikan Kedua menuju penafsiran yang tepat dalam terang Tradisi Gereja, di selenggarakan oleh Theological Seminary “Immacolata Mediatrice” Fransiscans of the Immaculate.

Instituto Maria SS. Bambina, via Paolo VI 21, Roma, December 16-18, 2010.

Singkatan:

AA: Apostolicam actuositatem AG: Ad gentes DH: Dignitatis humanae GS: Gaudium et spes SC: Sacrosanctum Concilium

English translation by Richard Chonak.

Acknowledgements:

The source text in Italian was provided courtesy of L’Espresso newspaper at:
http://chiesa.espresso.repubblica.it/articolo/1346289

Englsh translations of the conciliar decrees and constitutions were taken from vatican.va.

Sumber

2 komentar

  1. […] Memang benar bahwa terdapat prinsip dan cara menafsirkan Kitab Suci, namun sekarang prinsip dan tafsiran yang benar terhadap seluruh dokumen Konsili Vatikan II belum diberikan oleh Magisterium[iii]. Oleh karena itulah, Uskup Athanasius Scheneider mengajukan proposal untuk menafsirkan Konsili Vatikan II dengan benar. […]

    Suka

  2. kalau Yesus = Bapa [Pernyataan pertama salah total. Yesus tidak sama dengan Bapa. —edited by admin karena komentar kurang charitable—. Jadi saya tidak akan menanggapi komentar selanjutnya]
    kalau Yesus dan Bapa adalah satu
    mengapa kalian masih mengaggap sesat orang-orang yang menyembah Allah Bapa saja, bukankah Yesus samadengan Bapa? bukankah mereka adalah satu?
    mengapa kalian masih terus menghujat Muhammad SAW yang mengajarkan ketaatan mutlak pada Allah?
    mengapakah kalian membenci Islam [Kami membenci ajaran yang bertentangan dengan ajaran katolik karena itu menyesatkan, sedangkan kami tidak membenci pengikutnya], sementara Yesus dalam Islam begitu dihormati, bahkan tidak sempurna iman seorang muslim kalau mengingkari Yesus sebagai utusan Tuhan [Bagi kalian, Yesus bukan Allah dan hanya sekedar manusia, bagi kami itu adalah penghujatan terhadap keilahian Kristus. Meskipun demikian, kami tidak membenci kalian, kami membenci ajaran keliru yang menyesatkan banyak orang], mengapa saudaraku?

    Suka

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.