Satu-Satunya Berkat Bunda Gereja adalah Kebenaran yang Akan Membebaskan Kita

Kardinal Gerhard Ludwig Müller

Melalui Deklarasi Fiducia supplicans (FS) tentang Makna Pastoral Pemberkatan, Dikasteri untuk Ajaran Iman (DAI) telah membuat penegasan yang tidak ada presedennya dalam ajaran Gereja Katolik. Sesungguhnya, dokumen ini menegaskan bahwa mungkinlah bagi seorang imam untuk memberkati (tidak secara liturgis, tapi secara privat) pasangan yang ada dalam hubungan seksual di luar perkawinan, termasuk pasangan sesama jenis (Catatan penerjemah: Menurut wikipedia, a civil union (persatuan sipil) adalah pengaturan secara legal yg menyerupai perkawinan, yg dibuat terutama utk memberikan pengakuan hukum bagi pasangan sesama jenis. Persatuan sipil memberikan sebagian atau semua hak-hak perkawinan. Dalam konteks FS dan penjelasan Kardinal Muller, istilah ‘persatuan’ yang dimaksud mengacu pada pasangan sesama jenis atau pasangan yang berada dalam hubungan di luar perkawinan, yang mana keduanya tidak bisa diberkati oleh Gereja sebab persatuan tersebut secara objektif adalah dosa). Banyak pertanyaan yang muncul dari para Uskup, imam, dan umat awam sebagai tanggapan atas pernyataan tersebut pantaslah mendapat jawaban yang jelas dan eksplisit.

Bukankah pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Katolik? Apakah umat beriman wajib menerima ajaran baru ini? Bolehkah imam melakukan praktik baru tersebut yang baru saja dibuat? Dan dapatkah uskup diosesan melarang hal tersebut jika perbuatan itu dilakukan di keuskupannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita melihat apa persisnya yang diajarkan dokumen tersebut dan argument-argumen apa yang menjadi penopangnya.

Dokumen tersebut, yang tidak didiskusikan dan tidak disetujui oleh Sidang Umum Para Kardinal dan Uskup dari Dikasteri terkait, mengakui bahwa hipotesis (atau ajaran?) yang diajukannya adalah baru dan ia bersandar terutama pada magisterium pastoral Paus Fransiskus.

Menurut iman Katolik, paus dan para uskup dapat menetapkan penekanan-penekanan pastoral tertentu dan secara kreatif menghubungkan kebenaran Wahyu kepada tantangan-tantangan baru di tiap zaman, seperti misalnya, di bidang ajaran sosial atau bioetika, sambil menghormati prinsip-prinsip fundamental dari antropologi Kristiani. Tapi inovasi-inovasi ini tidak dapat melampaui apa yang sudah diwahyukan sebagai Sabda Allah kepada mereka sekali dan untuk selamanya oleh para rasul (Dei Verbum 8). Sesungguhnya, tidak ada teks biblis atau teks dari para Bapa dan Doktor Gereja atau dokumen magisterium sebelumnya yang dapat mendukung kesimpulan FS. Terlebih, apa yang kita lihat bukanlah perkembangan ajaran tapi loncatan doktrinal. Sebab seseorang dapat berbicara tentang perkembangan ajaran hanya bila penjelasan baru terkandung, setidaknya secara implisit, dalam Wahyu, dan terutama, tidak menentang definisi-definisi dogmatik. Dan perkembangan doktrin yang memperoleh makna doktrin yang lebih mendalam haruslah terjadi secara bertahap, melalui periode pematangan yang panjang. Sebenarnya, pernyataan magisterium terakhir atas perkara ini dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman (KAI) dalam sebuah responsum yang diterbitkan bulan Maret 2021, kurang dari tiga tahun lalu, dan ia dengan tegas menolak kemungkinan akan pemberkatan persatuan-persatuan ini. Hal ini berlaku bagi pemberkatan publik dan privat untuk orang-orang yang hidup dalam situasi-situasi dosa.

Bagaimana FS membenarkan pengajuan ajaran baru tanpa menentang dokumen 2021 sebelumnya?

Pertama, FS mengakui bahwa Responsum KAI 2021 dan ajaran tentang pemberkatan yang tradisional, sah dan mengikat tidaklah mengizinkan pemberkatan dalam situasi-situasi yang bertentangan dengan hukum Allah, sebagaimana dalam hal persatuan seksual di luar perkawinan. Hal ini jelas untuk sakramen-sakramen, tapi juga untuk pemberkatan lain yang disebut FS sebagai pemberkatan “liturgis”. Pemberkatan-pemberkatan “liturgis” tergolong ke dalam apa yang Gereja sebut sebagai “sakramental” sebagaimana dimuat dalam Rituale Romanum. Dalam dua jenis pemberkatan ini, harus ada keselarasan antara pemberkatan dan ajaran Gereja (FS 9-11).

Oleh karena itu, untuk menerima pemberkatan atas situasi-situasi yang bertentangan dengan Injil, DAI mengajukan solusi original: yakni memperluas konsep pemberkatan (FS 7; FS 12). Hal ini dibenarkan sebagai berikut: “Kita juga harus menghindari risiko untuk mengurangi makna berkat pada sudut pandang ini saja [yaitu pemberkatan sakramen dan sakramental yang bersifat liturgis], karena hal itu akan membawa kita untuk mengharapkan kondisi moral yang sama pada sebuah berkat sederhana yang dituntut dalam penerimaan sakramen-sakramen” (FS 12). Artinya, sebuah konsep baru tentang pemberkatan dibutuhkan, yang melampaui pemberkatan sakramental untuk mendampingi secara pastoral perjalanan mereka yang hidup dalam dosa.

Sekarang, kenyataannya, perluasan melampaui sakramen-sakramen ini sudah terjadi melalui pemberkatan lain yang disetujui dalam Rituale Romanum. Gereja tidak mensyaratkan kondisi-kondisi moral yang sama untuk sebuah pemberkatan sebagaimana untuk penerimaan sakramen. Hal ini terjadi, misalnya, dalam hal seorang peniten yang tidak ingin meninggalkan situasi dosa, tapi yang bisa dengan rendah hati memohon berkat secara pribadi sehingga Tuhan memberikannya terang dan kekuatan untuk memahami dan mengikuti ajaran-ajaran Injil. Hal ini tidak membutuhkan semacam pemberkatan “pastoral” jenis baru.

Lantas, mengapa perlu memperluas makna “pemberkatan” jika pemberkatan sebagaimana dipahami dalam Roman Ritual sudah melampaui pemberkatan yang diberikan dalam sakramen? Alasannya adalah bahwa pemberkatan yang dimaksud dalam Roman Ritual hanyalah mungkin diberikan atas “hal-hal, tempat-tempat, atau situasi-situasi yang tidak bertentangan dengan hukum atau semangat Injil” (FS 10, mengutip Roman Ritual). Dan hal inilah yang ingin diatasi DAI, karena ia ingin memberkati pasangan dalam situasi seperti hubungan sesama jenis, yang berlawanan dengan hukum dan semangat Injil. Benar bahwa Gereja bisa menambahkan “sakramental baru”, tapi dia tidak bisa mengubah maknanya sedemikian rupa untuk meremehkan dosa, khususnya dalam situasi budaya yang terbebani secara ideologi yang dapat menyesatkan umat beriman. Dan perubahan makna ini persisnya yang terjadi dalam FS, yang membuat kategori baru untuk pemberkatan, yang melampaui pemberkatan yang terkait dengan sakramen atau pemberkatan sebagaimana dipahami Gereja. FS berkata bahwa terdapat pemberkatan-pemberkatan non-liturgis yang termasuk ke dalam kesalehan popular. Sehingga, terdapat tiga jenis pemberkatan:

a) Doa-doa yang diasosiasikan dengan sakramen-sakramen, yang meminta agar seseorang berada dalam kondisi yang layak untuk menerima sakramen-sakramen, atau meminta agar orang tersebut menerima kekuatan untuk berpaling dari dosa.

b) Pemberkatan-pemberkatan, sebagaimana termuat dalam Roman Ritual dan sebagaimana yang selalu dipahami oleh ajaran Katolik, yang dapat ditujukan kepada orang-orang, bahkan bila mereka hidup dalam dosa, tapi tidak kepada “hal-hal, tempat-tempat, atau situasi-situasi … yang bertentangan dengan hukum atau semangat Injil” (FS 10, mengutip Roman Ritual). Misalnya, seorang wanita yang sudah melakukan aborsi dapat diberkati, namun tidak untuk klinik aborsi.

c) Pemberkatan baru yang diajukan FS adalah pemberkatan pastoral dan bukan pemberkatan liturgis atau ritual. Dengan demikian, pemberkatan tersebut tidak lagi dibatasi oleh pemberkatan “ritual” atau jenis “b”. Pemberkatan ini dapat diterapkan tidak hanya kepada orang-orang dalam dosa, sebagaimana dalam pemberkatan “ritual” tapi juga kepada hal-hal, tempat-tempat, atau situasi-situasi yang bertentangan dengan Injil.

Pemberkatan jenis “c” ini, atau pemberkatan “pastoral” adalah sesuatu yang baru. Ia tidak bersifat liturgis melainkan “kesalehan populer”, diasumsikan tidak mengkompromikan ajaran Injil dan tidak perlu konsisten dengan norma-norma moral atau ajaran Katolik. Apa yang dapat dikatakan tentang kategori baru untuk pemberkatan ini?

Pengamatan pertama adalah bahwa tidak ada dasar bagi penggunaan baru ini dalam teks biblis yang dikutip FS, tidak juga dalam pernyataan Magisterium sebelumnya. Teks-teks yang diajukan Paus Fransiskus juga tidak menyediakan dasar bagi jenis pemberkatan baru ini. Sebab, pemberkatan menurut Roman Ritual (jenis “b”) sudah mengizinkan seorang imam untuk memberkati seseorang yang hidup dalam dosa. Dan jenis pemberkatan ini dapat dengan mudah diterapkan pada seseorang yang berada dalam penjara atau kelompok rehabilitasi, seperti dikatakan Fransiskus (dikutip dalam FS 27). Pemberkatan “pastoral” inovatif (jenis “c”), sebaliknya, melampaui apa yang dikatakan Fransiskus, karena seseorang dapat memberikan berkat tersebut kepada realita yang berlawanan dengan hukum Allah, seperti hubungan di luar perkawinan. Sesungguhnya, menurut kriteria jenis pemberkatan ini, seseorang bahkan dapat membekati klinik aborsi atau kelompok mafia.

Hal ini menuntun kita pada pengamatan kedua: merupakan hal yang berbahaya untuk membuat istilah baru yang berlawanan dengan penggunaan bahasa secara tradisional. Dalam hal ini, faktanya adalah bahwa pemberkatan memiliki realitas objektif dari dirinya sendiri dan karenanya tidak dapat didefinsikan ulang sesuka hati untuk menyesuaikannya dengan intensi subjektif yang bertentangan dengan hakikat pemberkatan. Di sini kata-kata terkenal Humpty Dumpty dalam Alice in Wonderland muncul dalam ingatan saya: “Ketika saya menggunakan sebuah kata, itu artinya saya memilih apa yang menjadi artinya, tidak kurang tidak lebih.” Jawab Alice: “Pertanyaannya adalah apakah kamu dapat membuat kata-kata memiliki begitu banyak arti yang berbeda”. Dan Humpty Dumpty berkata: “Pertanyaannya adalah yang manakah yang menjadi tuan; itu saja.”

Pengamatan ketiga berhubungan dengan konsep “pemberkatan non-liturgis” yang tidak dimaksudkan untuk menyetujui apapun (FS 34), yakni pemberkatan “pastoral” (jenis “c”). Apa bedanya dari pemberkatan yang dimaksud dalam Roman Ritual (jenis “b”)? Perbedaannya bukan pada hakikat spontan dari pemberkatan tersebut, yang sudah dimungkinkan dalam pemberkatan jenis “b”, karena pemberkatan itu tidak perlu diatur dan disetujui dalam Roman Ritual. Perbedaannya juga bukan dalam kesalehan populer, sebab pemberkatan menurut Roman Ritual sudah diselaraskan dengan kesalehan populer, yang memohon untuk memberkati objek, tempat dan orang. Tampaknya pemberkatan “pastoral” inovatif diciptakan secara spontan untuk memberkati situasi-situasi yang bertentangan dengan hukum atau semangat Injil.

Hal ini membawa kita pada pengamatan keempat mengenai objek pemberkatan “pastoral” ini, yang membedakannya dari pemberkatan “ritual” dalam Roman Ritual. Sebuah pemberkatan “pastoral” dapat mencakup situasi-situasi yang bertentangan dengan Injil. Perhatikan bahwa tidak hanya para pendosa yang diberkati di sini, tapi bahwa dengan memberkati pasangan, maka relasi dosa itulah yang diberkati. Allah tidak dapat mengirimkan rahmatnya kepada sebuah hubungan yang secara langsung menentang-Nya dan tidak bisa diarahkan kepada-Nya. Hubungan seksual di luar perkawinan, sebagai hubungan seksual, tidak bisa membawa orang lebih dekat kepada Allah dan karenanya tidak membuka dirinya bagi berkat Allah. Jadi, jika pemberkatan diberikan, dampaknya hanyalah membuat bingung orang yang menerima atau menghadiri pemberkatan tersebut. Mereka akan berpikir bahwa Allah memberkati apa yang tidak bisa Dia berkati. Pemberkatan “pastoral” ini bukanlah pastoral ataupun pemberkatan. Benar bahwa Kardinal Fernandez, dalam pernyataannya kepada Infovaticana, berkata bahwa bukan persatuan yang diberkati, melainkan pasangan. Namun ini artinya mengosongkan sebuah kata dari maknanya, sebab yang mendefinisikan pasangan sebagai pasangan persisnya adalah hubungan persatuan di antara mereka.

Kesulitan dalam memberkati sebuah persatuan atau pasangan secara khusus terlihat jelas dalam hal homoseksualitas. Sebab, dalam Kitab Suci, pemberkatan berhubungan dengan tatanan yang sudah Allah ciptakan dan nyatakan sebagai hal yang baik. Tatanan ini berlandaskan pada perbedaan seksual pria dan wanita, yang dipanggil untuk menjadi satu daging. Memberkati sebuah realita yang berlawanan dengan penciptaan tidak hanya mustahil, melainkan sebuah penistaan. Sekali lagi, ini bukan tentang memberkati orang yang “hidup dalam persatuan yang tidak bisa dibandingkan dalam situasi apapun dengan perkawinan” (FS no. 30), tapi tentang memberkati persatuan yang tidak bisa dibandingkan dengan perkawinan. Persisnya untuk tujuan inilah pemberkatan jenis baru dibuat (FS 7, 12).

Beberapa argumen muncul dalam teks yang berupaya membenarkan pemberkatan ini. Pertama, kemungkinan akan kondisi-kondisi yang mengurangi imputabilitas (catatan penerjemah: imputabilitas berarti tanggung jawab seseorang atas perbuatannya) pendosa. Kendati demikian, kondisi-kondisi ini merujuk pada pribadi dan bukan pada relasi itu sendiri. Dikatakan juga bahwa memohon berkat adalah kebaikan yang mungkin yang dapat diwujudkan orang-orang ini dalam kondisi mereka saat ini, seakan-akan meminta berkat sudah merupakan suatu keterbukaan kepada Allah dan pertobatan. Ini bisa saja benar bagi mereka yang meminta berkat untuk dirinya, tapi tidak untuk mereka yang meminta berkat sebagai pasangan. Pasangan yang meminta berkat, secara implisit atau eksplisit berupaya membenarkan hubungan mereka di hadapan Allah tanpa menyadari bahwa persisnya hubungan merekalah yang menjauhkan mereka dari Allah. Terakhir, dinyatakan bahwa ada unsur-unsur positif dalam sebuah relasi dan bahwa hal ini dapat diberkati, tapi unsur-unsur positif ini (misalnya, seseorang membantu yang lain ketika ia sedang sakit) bersifat sekunder bagi hubungan itu sendiri – yang mana ciri yang mendefinisikan relasi tersebut adalah aktivitas seksual bersama – dan unsur-unsur ini tidak mengubah hakikat relasi ini, yang dalam situasi apapun tidak dapat diarahkan kepada Allah, sebagaimana tertulis dalam Responsum Kongregasi Ajaran Iman tahun 2021. Bahkan dalam klinik aborsi terdapat unsur-unsur positif, dari dokter anestesi yang mencegah rasa sakit fisik, hingga keinginan dokter untuk melindungi rencana hidup wanita yang sedang melakukan aborsi.

Pengamatan kelima berkenaan dengan inkonsistensi internal dari pemberkatan “pastoral” inovatif. Apakah mungkin untuk memberikan pemberkatan non-liturgis, sebuah berkat, yang tidak secara resmi mewakili ajaran Kristus dan Gereja? Kunci untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah apakah ritus-ritus tersebut disetujui secara resmi atau dilakukan improvisasi secara spontan. Persoalannya adalah apakah dia yang memberikan berkat adalah seorang imam, yang mewakili Kristus dan Gereja. FS mengafirmasi bahwa tidak ada masalah bagi imam yang bergabung dalam doa untuk mereka yang mendapati dirinya dalam situasi yang bertentangan dengan Injil (FS 30), tapi dalam pemberkatan ini, imam tidak sekadar bergabung dalam doa mereka, tapi memohon turunnya anugerah-anugerah Allah atas hubungan itu sendiri. Sejauh imam bertindak sebagai imam, ia bertindak atas nama Kristus dan Gereja. Mengklaim bahwa seseorang dapat memisahkan makna pemberkatan ini dari ajaran Kristus artinya menyatakan bahwa terdapat dualisme antara apa yang Gereja lakukan dan apa yang Gereja katakan. Tapi sebagaimana diajarkan Konsili Vatikan II, wahyu diberikan pada kita melalui perkataan dan perbuatan, yang tidak dapat dipisahkan (Dei Verbum 2), dan pewartaan Gereja tidak bisa memisahkan perbuatan dari perkataan. Persisnya orang-orang sederhana, yang ingin didukung oleh dokumen ini dengan mempromosikan kesalehan populer, adalah yang paling rentan untuk ditipu oleh perbuatan simbolis yang bertentangan dengan doktrin, sebab mereka secara intuitif menangkap isi doktrinal dari perbuatan tersebut.

Dalam terang ini, bisakah umat beriman Katolik menerima ajaran FS? Dengan mempertimbangkan kesatuan antara perbuatan dan perkataan dalam iman Kristen, seseorang hanya dapat menerima bahwa adalah baik untuk memberkati persatuan-persatuan ini, bahkan dalam cara yang pastoral, jika seseorang percaya bahwa persatuan tersebut tidaklah secara objektif bertentangan dengan hukum Allah. Konsekuensinya, selama Paus Fransiskus terus mengafirmasi bahwa persatuan homoseksual selalu bertentangan dengan hukum Allah, ia secara implisit menegaskan bahwa pemberkatan tersebut tidak dapat diberikan. Oleh karena itu, ajaran FS bertentangan dalam dirinya dan karenanya membutuhkan klarifikasi lebih lanjut. Gereja tidak bisa merayakan satu hal dan mengajarkan hal lain sebab, seperti yang ditulis St. Ignatius dari Antiokia, Kristus adalah Sang Guru “yang berbicara dan terjadilah yang dikatakannya” (Surat St. Ignatius kepada Jemaat di Efesus,15:1), dan seseorang tidak bisa memisahkan tubuhnya dari sabdanya.

Pertanyaan lain yang kami tanyakan adalah apakah imam dapat setuju untuk memberkati persatuan-persatuan ini, yang beberapa darinya ko-eksis dengan perkawinan sah atau yang di dalamnya merupakan hal yang umum untuk berganti pasangan. Menurut FS, imam dapat melakukannya dengan memberikan pemberkatan “pastoral” non-liturgis, non-resmi. Ini berarti bahwa imam yang memberikan pemberkatan tersebut tidaklah bertindak dalam nama Kristus dan Gereja. Tapi ini artinya ia tidak bertindak sebagai imam. Sesungguhnya, ia memberikan pemberkatan ini bukan sebagai imam Kristus, tapi sebagai orang yang sudah menolak Kristus. Kenyataannya, melalui perbuatannya, imam yang memberkati persatuan ini menyatakan mereka sebagai jalan menuju Sang Pencipta. Jadi, ia melakukan perbuatan sakrilegi dan penistaan terhadap rencana Sang Pencipta dan menentang wafat Kristus bagi kita, yang dimaksudkan untuk memenuhi rencana Sang Pencipta. Uskup diosesan juga terkait dengan hal ini. Sebagai gembala gereja lokal, ia wajib mencegah perbuatan-perbuatan sakrilegi, jika tidak, maka ia akan menjadi kaki tangan mereka dan menyangkal mandat yang diberikan kepadanya oleh Kristus untuk meneguhkan saudara-saudaranya dalam iman.

Para imam harus mewartakan kasih dan kebaikan Allah kepada semua orang dan juga membantu para pendosa dan mereka yang lemah dan memiliki kesulitan untuk bertobat dengan nasihat dan doa. Ini sangat berbeda dari memperlihatkan mereka dengan tanda-tanda yang dibuat sendiri namun menyesatkan dan dengan perkataan bahwa Allah tidak begitu keras terhadap dosa, dan karenanya menyembunyikan fakta bahwa dosa dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan lah yang menjauhkan kita dari Allah. Tidak ada pemberkatan, baik itu secara publik dan privat, untuk situasi-situasi kehidupan dalam dosa yang secara objektif bertentangan dengan kehendak Allah yang kudus. Dan bukanlah bukti penafsiran yang sehat jika para pembela ajaran Kristen yang berani dicap sebagai orang yang keras, yang lebih tertarik pada pemenuhan legalistik norma-norma moral mereka daripada keselamatan orang-orang yang konkret. Sebab inilah yang Yesus katakan kepada orang biasa: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Mat 11:28-30). Dan Sang Rasul menjelaskan demikian: “Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita. Siapakah yang mengalahkan dunia, selain dari pada dia yang percaya, bahwa Yesus adalah Anak Allah?” (1 Yoh 5:3-5). Di saat ketika antropologi palsu merusak institusi Ilahi pernikahan antara pria dan wanita, dengan keluarga dan anak-anaknya, Gereja harus mengingat perkataan Tuhannya dan Kepalanya: “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya” (Mat 7:13-14).

Sumber.

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.