Harga dari “Membuat Kekacauan”

Archbishop Chaput

Uskup Agung Emeritus Charles J. Chaput

Salah satu tolok ukur yang digunakan Gereja untuk mengukur kualitas para pemimpinnya adalah kalimat sederhana dari Kitab Suci: “Sebab Allah bukanlah sumber kekacauan, tetapi damai sejahtera” (1 Kor 14:33). Demikianlah bagi Paulus. Demikianlah juga sekarang. Demikianlah juga bagi para gembala dan uskup lokal, termasuk Uskup Roma. Kekacauan di antara umat beriman seringkali dapat menjadi perkara individu-individu yang tak bersalah namun gagal memahami Sang Sabda. Kendati demikian, ajaran yang kacau adalah perkara lain. Ia tidak pernah bisa dimaafkan. Penerusan kebenaran Kristiani membutuhkan kebijaksanaan dan kesabaran sebab manusia bukanlah mesin. Tapi ia juga menuntut kejelasan dan konsistensi. Ambiguitas yang disengaja atau konsisten – apapun yang dapat mengobarkan kesalahpahaman atau kelihatannya membuka celah bagi perilaku yang dosa secara objektif – tidaklah berasal dari Allah. Dan konsekuensinya adalah kerusakan bagi jiwa-jiwa dan bagi kehidupan bersama Gereja.

Saya sebutkan hal ini untuk sebuah alasan. Teman Protestan saya, seorang cendekiawan Reformasi, mengirimkan sebuah pesan kepada teman-teman Katoliknya tanggal 18 Desember dengan kabar bahwa “Fransiskus telah melontarkan kekacauan dalam persekutuan kalian”. Ia mengacu pada teks Fiducia Supplicans (Tentang Makna Pastoral dari Pemberkatan). Dikasteri untuk Ajaran Iman, yang dipimpin oleh Kardinal Victor Manual Fernandez – rekan kerja erat Paus Fransiskus – baru saja menerbitkannya hari itu. Dokumen ini adalah upaya ambigu yang secara bersamaan menegaskan dan melemahkan ajaran Katolik tentang hakikat pemberkatan dan penerapannya pada relasi-relasi  yang bersifat “irregular/di luar yang biasa”. Dan ia dengan cepat ditafsirkan sebagai perubahan signifikan dalam praksis Gereja. Romo James Martin, seorang advokat untuk perihal LGBTQ, segera difoto saat memberkati pasangan sesama jenis di artikel New York Times yang mencatat bahwa

Romo Martin telah menunggu bertahun-tahun untuk sebuah privilese dalam mengucapkan sebuah doa, yang kendati sederhana, secara terbuka.

“Sungguh menyenangkan” katanya pada hari Selasa, “untuk dapat melakukannya secara publik.”

Keputusan paus disambut dengan kemenangan penting oleh para advokat untuk gay Katolik, yang menggambarkannya sebagai gestur signifikan dari keterbukaan dan perhatian pastoral, dan sebuah pengingat bahwa sebuah institusi yang usianya ribuan tahun dapat berubah.

Artikel Times lalu mengakui bahwa “keputusan tersebut tidak menjungkirbalikkan ajaran Gereja bahwa perkawinan adalah antara pria dan wanita.” Tidak pula ia “mengizinkan para imam untuk melakukan perkawinan sesama jenis.” Tapi cita rasa dominan dan tujuan dari artikel tersebut ditangkap dengan amat baik oleh beragam pria gay yang diwawancara, yang berbicara tentang Gereja yang “setuju” atas legitimasi hubungan sesama jenis” dan pasangan sesama jenis “mengklaim ruang kami.”

Dari mana kita mulai [membahasnya]?

Pertama, peran kunci seorang paus adalah menyatukan Gereja, bukan memecah belahnya, khususnya dalam perkara iman dan moral. Ia memiliki kewajiban serupa untuk menyatukan para uskup dan tidak memecah belah mereka.

Kedua, tugas hakiki seorang gembala penuh kasih adalah mengoreksi dan juga mendampingi. Pemberkatan seharusnya menyemangati, tapi juga, ketika diperlukan, menantang [seseorang]. Mereka yang berada dalam persatuan sesama jenis dan di luar perkawinan membutuhkan pendampingan yang menantang dari Gereja. Para paus, uskup, imam, dan diakon dipanggil oleh panggilan mereka untuk menjadi nabi dan gembala. Paus Fransiskus sering memisahkan peran ini kendati Yesus sendiri selalu mewujudkan keduanya dalam pelayanan-Nya. Kata-katanya kepada wanita yang tertangkap melakukan perzinahan bukan sekedar “dosamu diampuni” tapi juga “pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.”

Ketiga, relasi yang selalu dipandang Gereja sebagai dosa kini sering disebut sebagai “irregular.” Hal ini mengubah realita dari perilaku yang cacat secara moral dan menyebabkan kebingungan tentang apa yang bisa dan tidak bisa disebut “dosa.”

Terakhir, walau sesungguhnya dokumen tersebut tidak mengubah ajaran Gereja tentang perkawinan, ia tampaknya mengubah ajaran Gereja tentang keberdosaan aktivitas hubungan seksual sesama jenis. Perkawinan bukanlah perkaranya. Perkaranya adalah hakikat moral dari persatuan sesama jenis, dan ini adalah pembedaan yang sangat penting.

Para uskup di negara ini dan di luar negeri telah mengeluarkan pernyataan yang mengulangi ajaran Katolik tentang perkara seksualitas manusia dan hubungan sesama jenis. Para Uskup Nigeria menekankan bahwa “tidak ada kemungkinan di dalam Gereja untuk memberikan pemberkatan untuk persatuan dan aktivitas sesama jenis” sebab perbuatan tersebut “bertentangan dengan hukum Allah dan ajaran-ajaran Gereja.” Dan beberapa kritik tentang dokumen Vatikan tersebut (beserta komentar yang cukup pedas) telah muncul – misalnya di sinidi sini, di sini, dan di sini. Kritikan lainnya sedang disiapkan. Tapi semua komentar tersebut bertujuan untuk mengurangi kerusakan yang sudah terjadi. Apakah para pembaca senang atau marah oleh teks terbaru Vatikan, akibat praktisnya adalah gelombang kekacauan dalam kehidupan Gereja pada waktu Natal – sebuah masa yang dimaksudkan untuk bersukacita, tapi kini terjerat dalam frustrasi, keraguan, dan konflik.

Sebagai tanggapan atas penolakan dokumen tersebut, Paus Fransiskus memberitahu staf Vatikan, sebagaimana dilaporkan PBS, bahwa merupakan hal yang

penting untuk tetap melangkah maju dan berkembang dalam pemahaman akan kebenaran. Berpegang pada aturan dalam ketakutan tampaknya memberi kesan menghindari masalah, namun hanya akan berakhir dengan menyakiti pelayanan, yang mana Kuria Vatikan dipanggil untuk memberikannya kepada Gereja, katanya.

“Hendaklah kita tetap waspada atas posisi ideologis kaku yang seringkali bersembunyi di balik niat baik, namun memisahkan kita dari realita dan mencegah kita untuk melangkah maju”, kata paus. “Kita dipanggil untuk berangkat dan melakukan perjalanan, seperti orang Majus, yang mengikuti terang yang selalu ingin menuntun kita maju, di sepanjang jalan-jalan yang belum dijelajahi dan arah-arah baru.”

Keluhan tentang “posisi ideologis kaku” sekarang menjadi tanggapan dasar Takhta Suci terhadap keberatan rasional apapun tentangnya, atau atas kritik yang jujur atas perbuatannya. Setiap paus memiliki kesukaan, ketidaksukaan, dan frustrasinya sendiri. Itu kodrat dari manusia. Seperti yang sering saya katakan di tempat lain, Paus Fransiskus memiliki kekuatan pastoral yang penting yang membutuhkan dukungan doa kita. Tapi keluhan publik tentangnya melemahkan martabat jabatan Petrus dan pribadi yang mendudukinya. Ia juga mengabaikan rasa hormat kolegial yang harus diberikan pada para saudara uskup yang mempertanyakan arah Vatikan saat ini. Dan lagi, hal ini tidak berasal dari Allah. Menggambarkan kesetiaan kepada keyakinan dan praktik Katolik sebagai “berpegang pada aturan dalam ketakutan” –  itu kata-kata PBS, tapi niatnya jelas adalah niat Paus – adalah hal yang tidak bertanggungjawab dan keliru. Umat beriman pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik daripada itu. Pantas untuk diperhatikan bahwa menapaki “jalan-jalan yang belum dijelajahi dan arah baru” dapat menuntun kita dengan mudah menuju padang gurun daripada Bethlehem.

Selama dekade terakhir, ambiguitas atas perkara tertentu dari ajaran dan praksis Katolik telah menjadi pola kepausan saat ini. Kritikan paus atas umat Katolik Amerika seringkali tidak adil dan tak berdasar. Sebagian Gereja Jerman secara efektif berada dalam skisma, namun Roma secara tidak bijaksana mentolerir “jalan sinodal” Jerman, dan kemudian bereaksi terlalu lambat untuk menghalangi akibat-akibat negatifnya. Pada masa ketika kebapakan dan kepemimpinan rohani Kristiani pria berada dalam krisis, Bapa Suci telah meminta Komisi Teologi Internasionalnya untuk mengerjakan “demaskulinisasi” Gereja. Tantangan yang paling urgen yang dihadapi umat Kristen dalam dunia saat ini bersifat antropologis: siapa dan apakah manusia itu; apakah kita memiliki tujuan yang lebih luhur yang pantas bagi martabat khusus kita sebagai sebuah spesies; apakah kita lebih dari binatang cerdas yang tak biasa yang dapat menciptakan dan menciptakan ulang diri kita. Namun fokus kita tahun 2024 adalah sinode tentang sinodalitas.

Mengucapkan hal ini, tentu akan mengundang klaim “ketidaksetiaan.” Tapi ketidaksetiaan yang sesungguhnya adalah tidak berbicara tentang kebenaran dengan kasih. Dan kata “kasih” di sini bukanlah kata kosong tanpa arti. Ia adalah cangkang yang kosong bila kebenaran tidak memenuhinya. Di Brazil tahun 2013, Bapa Suci menyemangati orang muda untuk “membuat kekacauan.” Hal itu terjadi pastinya dalam cara-cara yang tidak dimaksudkan oleh Paus. Tapi akhirnya, para pemimpin pastoral bertanggung jawab atas perkataan dan perbuatan mereka. Sebab, seperti yang dulu kala dikatakan St. Paulus, “Allah bukanlah sumber kekacauan, tapi damai sejahtera.”

Charles J. Chaput, OFM, adalah uskup agung emeritus Philadelphia.

Sumber.

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.