Tanggapan Kongregasi Ajaran Iman atas Pertanyaan tentang Pemberkatan Persatuan Homoseksual tahun 2021

Holy See Emblem 2

Tanggapan Kongregasi Ajaran Iman

mengenai pertanyaan tentang pemberkatan untuk persatuan orang-orang sesama jenis

TERHADAP PERTANYAAN YANG DIAJUKAN:

Apakah Gereja memiliki kuasa untuk memberikan berkat bagi persatuan orang-orang sesama jenis?

JAWABAN:

Tidak.

Catatan Penjelasan

Dalam beberapa konteks gerejawi, rencana dan gagasan untuk memberkati persatuan orang-orang sesama jenis sedang dikembangkan. Rencana tersebut seringkali dimotivasi oleh keinginan tulus untuk menerima dan mendampingi kaum homoseksual, yang kepada mereka ditawarkan jalan-jalan untuk berkembang dalam iman, “sehingga mereka yang memperlihatkan orientasi homoseksual bisa menerima bantuan yang mereka perlukan untuk memahami dan sepenuhnya melaksanakan kehendak Allah dalam hidup mereka”[1].

Pada jalan-jalan tersebut, mendengarkan sabda Allah, partisipasi dalam perbuatan-perbuatan liturgis gerejawi, dan pengamalan kasih dapat memainkan peran penting dalam menopang komitmen untuk membaca riwayat orang itu sendiri dan untuk berpegang pada panggilan baptisan seseorang dengan kebebasan dan tanggung jawab, sebab “Allah mengasihi setiap orang dan Gereja juga melakukan hal yang sama”[2], sambil menolak semua diskriminasi yang tidak adil.

Di antara perbuatan-perbuatan liturgis Gereja, sakramentali-sakramentali memiliki makna penting: “Selain itu Bunda Gereja kudus telah mengadakan sakramentali, yakni tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan karunia-karunia, terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama sakramen-sakramen, dan pelbagai situasi hidup disucikan.” [3] Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa “Sakramentali tidak memberi rahmat Roh Kudus seperti dibuat Sakramen, tetapi hanya mempersiapkan oleh doa Gereja, supaya menerima rahmat dan bekerja sama dengannya” (# 1670).

Pemberkatan-pemberkatan termasuk ke dalam kategori sakramentali, yang melaluinya Gereja “memanggil kita untuk memuji Allah, menyemangati kita guna memohon perlindungan-Nya, dan menganjurkan kita untuk mencari belas kasih-Nya melalui kekudusan hidup kita”[4]. Selain itu, “[sakramentali-sakramentali] telah ditetapkan sebagai semacam tiruan sakramen-sakramen, terutama, pemberkatan adalah tanda-tanda dari efek-efek rohani yang dicapai melalui perantaraan Gereja”[5].

Konsekuensinya, agar selaras dengan hakikat sakramental, ketika sebuah berkat dimohonkan untuk hubungan manusiawi yang khusus, selain intensi yang benar dari mereka yang ambil bagian di dalamnya, perlulah bahwa apa yang diberkati secara objektif dan positif terarah untuk menerima dan mengungkapkan rahmat, menurut rencana Allah yang terukir dalam ciptaan, dan yang sepenuhnya disingkapkan oleh Kristus Tuhan. Oleh karena itu, hanya realita-realita yang dari dalam diri mereka sendiri, yang terarah untuk memenuhi tujuan tersebut, yang selaras dengan hakikat pemberkatan yang diberikan Gereja.

Dengan demikian, tidaklah licit (catatan penerjemah: Menurut Kamus Katolik yang disusun Rm. John Hardon SJ, licit artinya diizinkan oleh hukum, entah itu hukum sipil atau gerejawi. Maka, tidak licit berarti tidak diizinkan secara hukum) untuk memberikan berkat atas hubungan, atau persekutuan, sekalipun [hubungan dan persekutuan itu bersifat] stabil, yang melibatkan aktivitas seksual di luar perkawinan (yaitu di luar persatuan tak terceraikan antara seorang pria dan wanita yang mana persatuan itu sendiri terbuka untuk meneruskan kehidupan), seperti halnya dalam persatuan orang-orang sesama jenis[6]. Adanya unsur-unsur positif dalam hubungan tersebut, yang di dalam dirinya haruslah dihargai dan diapresiasi, tidak dapat membenarkan hubungan-hubungan ini dan membuatnya menjadi objek yang sah untuk menerima pemberkatan gerejawi, sebab unsur-unsur positif itu ada dalam sebuah persatuan yang tidak terarah kepada rencana Sang Pencipta.

Terlebih, karena pemberkatan-pemberkatan atas orang-orang berhubungan dengan sakramen-sakramen, maka pemberkatan persatuan homoseksual tidak bisa dianggap licit. Ini karena [pemberkatan tersebut] akan menyerupai atau mirip dengan pemberkatan perkawinan[7] yang dimohonkan atas pria dan wanita yang disatukan dalam sakramen perkawinan, padahal kenyataannya “mutlak tidak ada dasar untuk menganggap persatuan homoseksual dalam situasi apapun sebagai hal yang mirip atau bahkan secara minimal sepadan dengan rencana Allah atas perkawinan dan keluarga”[8].

Deklarasi mengenai tidak sahihnya pemberkatan persatuan antara orang sesama jenis, karenanya, tidaklah dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi yang tidak adil, melainkan sebagai pengingat tentang kebenaran ritus liturgi dan hakikat sakramentali, sebagaimana yang dipahami Gereja.

Komunitas Kristiani dan para gembalanya dipanggil untuk menerima orang-orang dengan kecenderungan homoseksual dengan hormat dan bela rasa, dan akan mengetahui cara menemukan langkah-langkah yang paling layak, yang konsisten dengan ajaran Gereja, untuk mewartakan kepenuhan Injil kepada mereka. Serentak, mereka harus mengakui kedekatan Gereja yang tulus – yang mendoakan mereka, mendampingi mereka, dan ambil bagian dalam perjalanan iman Kristen mereka[9] – dan menerima ajaran-ajaran tersebut dengan keterbukaan yang tulus.

Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan tersebut tidaklah mengecualikan pemberkatan yang diberikan kepada individu dengan kecenderungan homoseksual[10], yang memperlihatkan kehendak untuk hidup dalam kesetiaan dengan pewahyuan rencana Allah sebagaimana diajukan oleh ajaran Gereja. Lebih tepatnya, [jawaban tersebut] menyatakan sebagai hal yang tidak sah bentuk pemberkatan apapun yang condong memberikan pengakuan atas persatuan mereka. Dalam hal ini, sesungguhnya, pemberkatan akan memperlihatkan, bukan intensi untuk mempercayakan pasangan tersebut kepada perlindungan dan pertolongan Allah, dalam pengertian yang disebutkan di atas, tapi [pemberkatan itu akan] menyetujui dan mendorong sebuah pilihan dan gaya hidup yang secara objektif tidak bisa diarahkan kepada pewahyuan rencana Allah[11].

Secara bersamaan, Gereja mengingat bahwa Allah sendiri tidak pernah berhenti untuk memberkati masing-masing anak-Nya yang berziarah di dunia ini, sebab bagi-Nya “kita lebih penting bagi Allah daripada semua dosa yang dapat kita perbuat”[12]. Tapi Allah tidak dan tidak bisa memberkati dosa: Ia memberkati manusia yang berdosa, sehingga manusia itu dapat mengakui bahwa ia adalah bagian dari rencana kasih-Nya dan memperkenankan dirinya diubah oleh-Nya. Sesungguhnya, Allah “menerima kita sebagaimana adanya, tapi tidak meninggalkan kita sebagaimana adanya”[13].

Berdasarkan alasan-alasan di atas, Gereja tidak memiliki, dan tidak dapat memiliki, kuasa untuk memberkati persatuan orang-orang sesama jenis dalam arti sebagaimana dimaksud di atas.

Paus Fransiskus, dalam Audiensi yang diberikan kepada Sekretaris Kongregasi ini yang bertanda tangan di bawah ini, telah diberitahu dan memberikan persetujuannya atas publikasi responsum ad dubium di atas, dengan tambahan catatan penjelasan.

Roma, dari Kantor Kongregasi Ajaran Iman, 22 Februari 2021, Pesta Takhta St. Petrus, Rasul.

Luis F. Kardinal Ladaria, SJ

Prefek

Giacomo Morandi

Uskup Agung Tituler Cerveteri

Sekretaris

_______________________

[1] FRANCIS, Apostolic Exhortation Amoris laetitia, 250.

[2] SYNOD OF BISHOPS, Final Document of the XV Ordinary General Assembly, 150.

[3] SECOND VATICAN ECUMENICAL COUNCIL, Constitution on the Sacred Liturgy Sacrosanctum Concilium, 60.

[4] RITUALE ROMANUM ex Decreto Sacrosancti Oecumenici Concilii Vaticani II instauratum auctoritate Ioannis Pauli PP. Il promulgatum, De bendictionibus, Praenotanda Generalia, n.9.

[5] Ibidem, n. 10.

[6] Catechism of the Catholic Church, 2357.

[7] In fact, the nuptial blessing refers back to the creation account, in which God’s blessing on man and woman is related to their fruitful union (cf. Gen 1:28) and their complementarity (cf. Gen 2:18-24).

[8] FRANCIS, Apostolic Exhortation Amoris laetitia, 251.

[9] Cf. CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Letter Homosexualitatis problema On the Pastoral Care of Homosexual Persons, 15.

[10] De benedictionibus in fact presents an extended list of situations for which to invoke the blessing of the Lord.

[11] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Letter Homosexualitatis problema On the Pastoral Care of Homosexual Persons, 7.

[12] FRANCIS, General Audience of December 2, 2020, Catechesis on Prayer, the blessing.

[13] Ibidem.


Terjemahan di atas adalah terjemahan tidak resmi dari teks berbahasa inggris dari website Vatikan (silakan klik kalimat ini).

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.