Sepuluh Tips tentang Bagaimana Bertahan dari Paus Pembawa Malapetaka dan Tetap Menjadi Katolik

Christ_Asleep_during_the_Tempest_MET_DT2002

Christ Asleep during the Tempest by Eugène Delacroix (Sumber)

Update 16 Juli 2023:

Tulisan ini sebelumnya pernah diterbitkan sembilan tahun lalu, namun dulu saya putuskan untuk menariknya kembali. Sekarang, beberapa tahun kemudian, dengan melihat kekacauan yang terjadi di dalam Gereja (contohnya: pengangkatan Prefek Dikasteri untuk Ajaran Iman yang baru), maka saya merasa perlu untuk menerbitkan kembali tulisan ini.

Semoga pada kesempatan mendatang, saya memiliki waktu untuk menjelaskan lebih lanjut tentang situasi Gereja saat ini.

***

Para pembaca Lux Veritatis 7 yang rajin membaca perkembangan terbaru blog kami, mungkin akan menyadari bahwa kami sangat sedikit sekali menulis pemberitaan tentang Paus Fransiskus. Entah itu homilinya, pesannya, berita seputar dirinya, dst.

Memang para kontributor blog ini memiliki sedikit waktu untuk terus membaharui konten, namun jarangnya pemberitaan tentang Paus Fransiskus ialah, karena kami (saya, secara pribadi) merasa bahwa hal-hal penting seputar Paus Fransiskus, merupakan hal yang kurang begitu baik untuk ditampilkan kepada para pembaca sekalian.

Para pembaca yang aktif mengikuti berita luar negri dan komentar para blogger katolik, tentu menyadari bahwa pada awal kepausannya, Paus Fransiskus melakukan wawancara dengan kata-kata yang ambigu, seperti tegurannya agar jangan sampai kita terobsesi dengan masalah aborsi, juga kata-katanya yang sangat problematis:

“And I believe in God, not in a Catholic God, there is no Catholic God, there is God and I believe in Jesus Christ, his incarnation. Jesus is my teacher and my pastor, but God, the Father, Abba, is the light and the Creator. This is my Being. Do you think we are very far apart?”

“Dan saya percaya pada Allah, bukan pada Allah Katolik, tidak ada Allah Katolik, ada Allah dan saya percaya dalam Yesus Kristus, inkarnasi-Nya. Yesus adalah guru dan gembala saya, tapi Allah, Bapa, adalah terang dan Sang Pencipta. Ia keberadaan saya. Apa kamu berpikir kita terpisah begitu jauh?”

Perkataan tersebut terkesan memberikan gambaran bahwa Allah yang sejati, dimiliki dalam setiap agama. Padahal Gereja Katolik meyakini bahwa gambaran Allah yang benar terdapat dalam Iman Katolik, dan karenanya Ia adalah Allah bagi semua orang.

Contoh lainnya, frase “who am I to judge – siapa saya hingga berhak menghakimi anda” yang cukup popular, yang dikeluarkan dalam konteks homoseksual yang tulus mencari Allah, sekarang tampak menjadi frase yang disalahtafsirkan, yang digunakan untuk menghalangi orang lain menyatakan kebenaran dan mengkoreksi kekeliruan.

Contoh lainnya yang terbaru ialah dalam sinode keluarga yang baru saja berakhir. Ada banyak kardinal dan uskup, seperti Kardinal Raymond Leo Burke, Prefek Pengadilan Tertinggi Apostolic Signatura (beliau tidak lagi menjabat posisi tersebut, baru saja “diasingkan” oleh Paus Fransiskus dan menjadi Kardinal Pelindung Ordo Malta) dan Kardinal Muller, Prefek Kongregasi Ajaran Iman, yang membela ajaran Gereja yang kekal bahwa Komuni tidak boleh diberikan pada orang Katolik yang cerai-dan-kawin-lagi (divorced and remarried catholics). Kita sebut mereka yang termasuk kategori ini adalah kelompok yang setia.

Konteksnya adalah sebagai berikut: dalam sinode, ada bapa sinode yang ingin mengubah ajaran Gereja, ingin melonggarkannya, misalnya bahwa Komuni dapat diberikan pada mereka yang cerai-dan-kawin-lagi (akibatnya, bila ini terjadi – yang sebenarnya tidak mungkin ajaran tersebut berubah – maka sifat perkawinan Katolik yang tak terceraikan, menjadi dapat terceraikan), bahwa cohabitation (kumpul kebo) merupakan hal yang benar secara moral, kita harus menerima kaum homoseksual (yang memberikan kesan bahwa homoseksual itu normal). Perubahan tersebut ada dalam laporan sinode keluarga (mid-term report of the Synod), meskipun paragraph yang bermasalah tidak mendapatkan persetujuan 2/3 bapa sinode. Mereka yang termasuk kelompok ini (terutama kardinal Kasper), kita sebut saja adalah kelompok yang tidak setia, karena mereka ingin mengubah ajaran Gereja yang kekal.

Dalam perdebatan tersebut, Paus Fransiskus hanya diam dan tidak menyatakan posisinya secara jelas. Bahkan Kardinal Burke, yang sebenarnya sangat enggan untuk menampilkan dirinya seolah bertentangan dengan Paus, berkata demikian:

The pope has never said openly what his position is on the matter and people conjecture that because of the fact that he asked Cardinal Kasper — who was well known to have these views for many, many years — to speak to the cardinals and has permitted Cardinal Kasper to publish his presentation in five different languages and to travel around advancing his position on the matter, and then even recently to publicly claim that he’s speaking for the pope and there’s no correction of this.

I can’t speak for the pope and I can’t say what his position is on this, but the lack of clarity about the matter has certainly done a lot of harm.

 ***

Paus tidak pernah berbicara secara terbuka tentang posisinya terhadap persoalan tersebut dan orang-orang menduga bahwa karena ia meminta Kardinal Kasper – yang dikenal memegang pandangan tersebut selama bertahun-tahun [tentang pemberian Komuni bagi mereka yang cerai-kawin-lagi] – untuk berbicara kepada para kardinal dan mengijinkannya berkeliling dunia menyebarkan posisinya tentang hal tersebut, dan bahkan belakangan ini secara umum mengklaim bahwa ia berbicara atas nama Paus dan tidak ada koreksi akan hal ini.

Saya tidak bisa berbicara mewakili paus dan saya tidak bisa berkata apa posisinya tentang hal ini, tapi kurangnya kejelasan tentang hal ini tentu telah menimbulkan sejumlah kerusakan. (Transkrip Wawancara Buzzfeed dengan Kardinal Burke)

Dengan berkata demikian, bukan berarti saya menganggap bahwa semua perkataan dan perbuatan Paus Fransiskus sangatlah buruk, walau saya secara pribadi beranggapan bahwa Paus Fransiskus termasuk dalam salah satu Paus terburuk setelah Konsili Vatikan II. Tentu ada hal-hal baik yang berasal dari Paus Fransiskus. Namun apa yang menjadi kepedulian saya ialah ini: agar kita, umat Katolik, dapat bersikap kritis dalam menilai setiap kata dan perbuatan Paus, dan tidak membelanya secara buta hanya karena ia adalah Paus. Ada baiknya kita merenungkan kutipan berikut:

“Sekarang dapat dikatakan secara singkat bahwa mereka yang membela keputusan apapun dari Paus Roma secara buta dan tanpa membeda-bedakan, yang berkaitan dengan setiap hal yang melemahkan otoritas Tahta Apostolik; mereka tidak sungguh mendukungnya, mereka menumbangkannya; mereka tidak melindunginya…Petrus tidak membutuhkan kebohongan kita; ia tidak membutuhkan pujian kita.” [Melchior Cano, De locis theologicisliber V]

Ya, kepausan saat ini, menurut saya, bukanlah kepausan yang terbaik. Ada banyak penganiayaan, ketidaktaatan, kekacauan di dalam Gereja, yang tidak sempat kami beritakan di sini. Oleh karena itulah saya menerjemahkan sebuah artikel yang cukup baik, tentang tips bagaimana bertahan dari kepausan yang membawa kekacauan sambil tetap mempertahankan diri sebagai seorang Katolik.

Anda tidak harus setuju terhadap apa yang saya tulis, namun gunakanlah nalar anda untuk memeriksa kebenaran yang kami sampaikan. Karena memang inilah salah satu tujuan Lux Veritatis 7: membentuk individu dengan nalar yang kritis, agar dapat mempertahankan kebenaran dengan cara yang penuh kasih.

***

Sepuluh Tips tentang Bagaimana Bertahan dari Paus Pembawa Malapetaka dan Tetap Menjadi Katolik

Oleh Dr. Francisco José Soler Gil

Oh, tapi…dapatkah seorang Katolik berpikir bahwa Paus adalah seorang yang membawa bencana? Tentu ia bisa memikirkannya. Tapi bukankah seharusnya orang Katolik yang baik percaya bahwa Roh Kudus ada di balik pemilihan Paus? Jelas tidak! Mungkin kita perlu mengingat tangapan Kardinal Ratzinger kepada seorang pewawancara, profesor August Everding, dalam wawancara terkenal pada 1997 [1998]. Profesor Everding bertanya pada Kardinal Ratzinger apakah ia sungguh percaya bahwa Roh Kudus ikut berperan dalam pemilihan Paus. Jawaban Ratzinger sederhana namun jelas, seperti biasa: “Roh Kudus berperan dalam arti Ia tidak memilih paus tertentu, karena ada banyak bukti yang bertentangan – ada banyak paus terdahulu yang tentunya tidak akan dipilih Roh Kudus! Tetapi, bahwa Ia sama sekali tidak melepaskan kendali, tetapi seperti pendidik yang baik, Ia menjaga kita dengan tali yang sangat panjang, memberikan kita banyak kebebasan, tetapi tidak pernah mengendurkan tali tersebut – begitulah deskripsi saya. Keterlibatan Roh Kudus perlu dipikirkan dalam arti yang sangat luas, bukan seperti “Kamu harus memilih dia!” Apa yang Ia ijinkan, bagaimanapun, dibatasi kepada kenyataan bahwa segalanya tidak dapat secara total dihancurkan.”

Sekarang, bila orang Katolik menerima begitu saja bahwa tidak ada Paus yang dapat menghancurkan Gereja, sejarah menunjukkan bahwa, terdapat semua jenis paus: yang baik, yang biasa, yang buruk, yang sangat buruk, atau yang membawa bencana.

Kapan kita dapat berkata bahwa seorang Paus merupakan pembawa bencana? Tentu, tidaklah cukup bila Paus hanya mendukung opini yang keliru terhadap persoalan ini dan itu. Karena seorang Paus, seperti yang lainnya, akan selalu mengabaikan banyak hal, dan memiliki keyakinan yang salah terhadap berbagai hal. Dan karenanya dapat saja terjadi bahwa seorang Paus merupakan aficionado (kolektor) perangko atau koin dapat membuat kesalahan besar tentang nilai atau tanggal pada perangko dan koin tertentu. Ketika memberikan pemikirannya terhadap hal-hal yang bukan kompetensinya, seorang Paus memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk salah daripada benar. Persis seperti anda dan saya, pembaca terkasih. Oleh karena itu, bila seorang Paus menunjukkan kecenderungan tertentu ketika menyatakan pemikirannya secara publik mengenai seni melahirkan-merpati, ekologi, ekonomi, atau astronomi, seorang pakar Katolik di area ini lebih baik menanggung dengan sabar komentar aneh (outslandish blurbs) Paus Roma terhadap hal tersebut, yang secara alami, merupakan hal yang asing terhadap Cathedranya (tahtanya). Para ahli akan secara alami meratapi kekeliruan ini, dan secara umum, kurangnya kearifan dalam pernyataan tersebut menjadi jelas. Tetapi, Paus yang kurang bijaksana dan banyak bicara bukanlah satu-satunya alasan yang membuat ia disebut sebagai Paus pembawa malapetaka.

Di sisi lain, seorang Paus memang bisa menyebabkan kerusakan harta karun iman Gereja melalui perkataan dan perbuatannya, mengaburkan berbagai aspek citra Allah dan Manusia yang harus Gereja lindungi, teruskan dan perdalam.

Tapi bisakah ada kasus semacam ini? Kenyataannya hal ini telah terjadi beberapa kali dalam sejarah Gereja. Ketika Paus Liberius (abad ke 4) – paus pertama yang tidak dikanonisasi – menyerah terhadap tekanan Arian yang kuat, ia menerima posisi yang ambigu tentang kesesatan ini, meninggalkan sang pembela dogma Trinitas, seperti St. Athanasius dalam kesukaran; ketika Paus Anastasius II (abad ke 5) bermain-main dengan pembela skisma Acacian; ketika Paus Yohanes XXII (abad 12) mengajarkan bahwa visi akan Allah yang dilihat oleh orang benar tidak terjadi sebelum Penghakiman Terakhir; ketika paus-paus dalam periode yang dikenal sebagai “Skisma Barat” (abad 14-15) saling mengekskomunikasi; ketika Paus Leo X (abad 16) tidak hanya bertujuan membayar kemewahannya dengan menjual indulgensi*, tapi juga secara teori membela kuasanya untuk melakukannya, dst, dst, sebagian harta karun iman tetap kabur kurang lebih dalam periode yang panjang dikarenakan tindakan dan kelalaian (omission) mereka, karenanya menciptakan momen-momen ketegangan internal di dalam Gereja. Paus yang bertanggung jawab terhadap hal ini harus dengan layak disebut sebagai “pembawa bencana.”

Pertanyaannya ialah, apa yang dapat dilakukan selama periode Paus Pembawa Bencana. Perilaku apa yang secara nyaman dapat diadopsi dalam kurun waktu demikian. Karena belakangan ini daftar yang menyediakan tips telah menjadi hal yang umum, seperti tips bahagia, bagaimana menurunkan kolestrol, berusaha menjadi lebih positif, berhenti merokok, menjadi lebih kurus, saya hendak mengajukan kepada para pembaca serangkaian tips untuk bertahan di tengah Paus pembawa malapetaka tanpa berhenti menjadi Katolik.

(1) Tetap tenang

Pada masa-masa yang sulit, kecenderungan untuk menjadi histeria itu terlalu manusiawi, namun ia tidak memecahkan masalah apapun. Karena hanya dengan bersikap tenang maka keputusan yang tepat untuk setiap kasus dapat diambil, dan perkataan serta perbuatan yang dapat membuat orang menyesal setelahnya, dapat dihindarkan.

(2) Membaca buku yang bermutu tentang sejarah Gereja dan sejarah kepausan

Terbiasa hidup dalam serangkaian kepemimpinan paus yang baik, membuat hidup dalam kepausan yang membawa kekacauan dapat menjadi pengalaman traumatis, bila seseorang tidak menempatkan hal tersebut dalam konteksnya. Membaca buku yang tebal tentang sejarah Gereja dan kepausan membantu kita menganalisa lebih dalam situasi masa kini. Terutama karena dalam buku tersebut, kasus lainnya diperlihatkan – sejumlah kasus, sayangnya, atau hanya karena hal itu terjadi oleh kodrat manusia – di mana mata air Romawi terlihat keruh. Gereja menderita karena kelemahan tersebut, namun tidak runtuh karena mereka. Hal seperti ini terjadi di masa lalu, dan kita bisa berharap ia juga terjadi di masa kini atau masa depan.

(3) Jangan percaya pada peringatan apokaliptis

Ketika beberapa orang mengalami kerusakan karena kepausan yang membawa bencana, mereka menganggapnya sebagai tanda akhir jaman. Ini merupakan konsep yang selalu muncul dalam situasi demikian: pesan apokaliptis yang dimotivasi oleh kejahatan serupa dapat juga dibaca dalam teks-teks yang ditulis pengarang abad pertengahan. Namun fakta ini seharusnya berperan dalam memperingatkan kita. Tidak masuk akal untuk menafsirkan setiap badai atau kekacauan seolah-oleh itu adalah Pencobaan Besar (The Great Tribulation). Akhir jaman akan datang ketika waktunya telah tiba, dan kita tidak tahu hari atau waktunya. Tugas kita ialah memerangi peperangan jaman kita, namun pandangan menyeluruh terhadap pelbagai hal merupakan milik-Nya.

(4) Jangan diam saja, jangan berpaling 

Selama kepausan yang buruk, kecacatan yang merupakan lawan dari perilaku menerima nubuat apokaliptis ialah mengecilkan besarnya suatu peristiwa, diam saja ketika berhadapan dengan penyimpangan (abuse), dan berpaling. Beberapa orang membenarkan sikap ini dengan mengingat putra yang baik yang menutupi ketelanjangan Nuh. Tapi apa yang pasti ialah tidak ada cara yang benar dalam mengemudikan kapal, bila penyimpangan tidak dinyatakan. Terlebih, Kitab Suci memiliki contoh yang lebih cocok daripada contoh Nuh: teguran yang keras namun setia yang dilakukan rasul Paulus kepada Paus Petrus, ketika Petrus membiarkan dirinya dipengaruhi persoalan duniawi. Peristiwa Kisah Para Rasul ini ada agar kita belajar membedakan kesetiaan dari keterlibatan yang keliru secara diam-diam (slilent complicity). Gereja bukanlah partai tempat pemimpinnya harus selalu mendapat tepuk tangan tak bersyarat. Juga bukan sebuah sekte yang pemimpinnya mendapatkan pujian setiap waktu. Paus bukan pemimpin sekte, melainkan pelayan Injil dan Gereja; seorang pelayan manusiawi yang bebas, yang dapat mengambil keputusan atau sikap yang keliru. Dan keputusan serta sikap yang keliru ini harus diperbaiki.

(5) Jangan membuat generalisasi

Teladan buruk (misalnya sikap pengecut, karirisme, dst) dari para uskup dan kardinal selama kepausan yang membawa bencana tidak seharusnya membuat kita melakukan generalisasi terhadap semua uskup, kardinal, atau klerus. Tiap orang bertanggung jawab terhadap perkataan, perbuatan, dan kelalaiannya. Namun struktur hirarkis Gereja diinstitusikan oleh Pendiri-Nya, karenanya mesti dihormati, sekalipun dengan kritik. Kebenaran terhadap Paus pembawa bencana tidak seharusnya diterapkan kepada semua kata dan perbuatannya. Hanya yang menyimpang dari ajaran Gereja yang kekal, atau terhadap arahan yang mengkompromi aspek ajaran-ajaran tersebut. Dan pendapat mereka terhadap hal ini tidak seharusnya didasarkan pada kejadian pribadi, pendapat, atau preferensi, tapi berdasarkan pada ajaran Gereja yang terangkum dalam katekismusnya. Ketika paus menjauh dari katekismus, ia harus dikritisi. Tidak dalam hal yang lain.

(6) Jangan membantu inisiatif yang memperbesar kemuliaan paus yang membawa bencana

Bila Paus pembawa bencana meminta bantuan untuk pekerjaan yang baik, ia harus didengarkan. Tapi inisiatif lain tidak seharusnya didukung, seperti, banyak pertemuan yang berperan dalam menampilkan ia sebagai paus yang populer. Dalam kasus paus pembawa bencana, pujian tidak diperlukan. Karena, berdasarkan hal tersebut, ia dapat merasa didukung untuk menyimpangkan kemudi Gereja. Tidaklah cukup baik, untuk berkata bahwa bukan Paus, tapi Petrus, yang dipuji, karena dampak dari pujian tersebut akan digunakan untuk tujuan peribadi paus pembawa bencana, bukan Petrus.

(7) Jangan mengikuti ajaran Paus yang menyimpang dari harta karun Gereja

Bila Paus mengajarkan ajaran atau hendak mencoba menerapkan praktek yang tidak berhubungan dengan ajaran Gereja yang kekal, yang terangkum dalam katekismus, ia tidak bisa didukung juga ditaati dalam tujuannya. Ini artinya, sebagai contoh, imam dan uskup berada dalam kewajiban untuk bersikukuh pada ajaran dan praktek tradisional, yang berakar dalam deposit iman, bahkan dengan resiko membiarkan diri mereka dihukum. Umat beriman harus berpegang pada ajaran dan praktek tradisional di area di mana mereka memiliki pengaruh. Berkontribusi terhadap heterodoksi atau heteropraksis (kesesatan dalam hal ajaran dan praksis) adalah hal yang tidak dapat diterima dalam situasi apapun, termasuk dalam ketaatan buta atau dalam rasa takut akan hukuman.

(8) Jangan membantu secara finansial keuskupan yang bekerja sama [dengan Paus pembaca bencana]

Bila Paus mengajarkan ajaran atau hendak mencoba menerapkan praktek yang tidak berhubungan dengan ajaran Gereja yang kekal, yang terangkum dalam katekismus, imam diosesan harus berperan sebagai dinding perdebatan. Namun sejarah menunjukkan bahwa para uskup tidak selalu bereaksi dengan energi yang cukup ketika berhadapan dengan bahaya ini. Lebih buruk lagi, mereka terkadang memberikan dukungan, untuk alasan apapun, atas upaya paus pembawa bencana. Umat beriman yang tinggal dalam keuskupan yang dipimpin oleh Gembala tersebut harus mencabut bantuan finansialnya kepada gereja lokalnya selagi situasi yang buruk tersebut terjadi. Tentu, hal ini tidak berlaku terhadap bantuan yang secara langsung memiliki tujuan amal, namun ia berlaku terhadap tujuan lain. Hal ini juga berlaku terhadap setiap jenis kolaborasi dengan keuskupan, apakah itu semacam kerja sukarela atau posisi institusional

(9) Jangan mendukung skisma apapun

Ketika berhadapan dengan Paus pembawa malapetaka, godaan untuk [memilih] pemisahan secara radikal dapat muncul. Godaan ini harus dilawan dengan segenap tenaga. Seorang Katolik memiliki kewajiban untuk meminimalkan, dari dalam Gereja, semua dampak negatif kepausan yang buruk, tanpa memecah Gereja atau memisahkan diri dari Gereja. Ini artinya, sebagai contoh, perlawanannya untuk mengambil beberapa ajaran atau praktek yang dapat mengarahkannya pada penerimaan hukuman, sebagai konsekuensinya, ia tidak seharusnya mengawali skisma baru juga tidak mendukung skisma yang sudah terjadi. Merupakan hal yang perlu baginya untuk tetap menjadi katolik dalam situasi apapun.

(10) Berdoa

Kekekalan dan keselamatan Gereja terutama tidak bergantung pada diri sendiri, tapi pada Ia yang menginginkan dan menciptakannya demi kebaikan kita. Di masa-masa penuh kesulitan, perlu sekali untuk berdoa, berdoa dan berdoa, agar Tuhan akan bangun dan menenangkan badai. Tips ini ditempatkan terakhir, bukan karena paling tidak penting, tapi karena ini yang paling penting dari semuanya. Karena pada akhirnya yang terpenting ialah kita sungguh percaya bahwa Gereja sungguh ditopang oleh Allah yang mengasihinya, dan yang tidak akan mengijinkannya dihancurkan. Marilah kita berdoa, bagi pertobatan paus yang keji, sehingga kepausan yang membawa bencana akan diikuti oleh kepausan yang memulihkan dan membawa damai. Banyak ranting kering yang hilang selama badai, tapi yang tetap bersatu dengan Kristus akan berkembang kembali. Semoga Allah mengijinkan hal tersebut dinyatakan juga tentang kita.

***

Diterjemahkan dari artikel berjudul “Ten tips on how to survive a calamitous Pope and remain Catholic

*Catatan: Walaupun tidak tepat dikatakan bahwa Paus Leo X secara langsung menjual indulgensi, namun pada jaman itu ada penyalahgunaan praktek indulgensi yang menimbulkan skandal finansial, karena pada jaman itu yang dilakukan ialah pemberian sumbangan demi pembangunan basilika St. Peter. Berikut penjelasan dari Catholic Answers:

One never could “buy” indulgences. The financial scandal surrounding indulgences, the scandal that gave Martin Luther an excuse for his heterodoxy, involved almsindulgences in which the giving of alms to some charitable fund or foundation was used as the occasion to grant the indulgence. There was no outright selling of indulgences. The Catholic Encyclopedia states: “[I]t is easy to see how abuses crept in. Among the good works which might be encouraged by being made the condition of an indulgence, almsgiving would naturally hold a conspicuous place. . . . It is well to observe that in these purposes there is nothing essentially evil. To give money to God or to the poor is a praiseworthy act, and, when it is done from right motives, it will surely not go unrewarded.”  (Myths about Indulgences)

Jadi, tidak bisa dikatakan Paus Leo X menjual indulgensi. Koreksi ini penerjemah tambahkan agar tidak ada kebingungan tentang ini.

10 komentar

  1. Bonaventura Hasta Prayitna · ·

    Dear Cornelius,
    Kalimat yang anda tulis itu benar adanya, tetapi saya merasa pertanyaan saya belum terjawab.
    Sangatlah baik bila kita menimba pengetahuan tentang agama Katolik untuk memperdalam keyakinan kita, dengan bertambahnya pengetahuan diharapkan kita makin bijaksana, memiliki rasa hormat yang lebih dan mengamalkan cinta kasih terhadap sesama.
    Sebaliknya jangan sampai terjadi pengetahuan yang kita miliki menjadi senjata untuk mengkritisi, menghakimi, bahkan mengklasifikasikan sesama, bila hal ini terjadi saya sangat setuju dengan pernyataan Paus Fransiskus “siapa saya hingga berhak menghakimi anda”.

    Suka

    1. Bagian mana yang menurut anda kurang menjawab?

      Mengkritisi dan menghakimi itu wajar saja. Apa batasannya hingga mengkritisi dan menghakimi itu tidak boleh? Toh saya tidak sampai menjelek-jelekkan pribadi yang saya kritisi, karena saya mengkritisi satu atau beberapa aspek tertentu. Mengklasifikasi merupakan cara berpikir manusia secara alami. Tuhan Yesus sendiri suka mengklasifikasi orang, ada anak2 terang dan gelap, ada domba dan kambing, dst. Jadi mengkotak-kotakkan atau membagi seseorang berdasarkan kriteria tertentu tidak selalu buruk.

      Suka

      1. Bonaventura Hasta Prayitna · ·

        Jawaban anda hanya menerangkan bahwa Allah itu dapat dipahami oleh manusia.

        Saya hanya menemukan ini dalam ke empat Injil:
        Yoh 12:36 Percayalah kepada terang itu, selama terang itu masih ada padamu, supaya kalian menjadi anak-anak terang.” Sesudah Yesus berkata begitu, Ia pergi dari sana dan tidak mau menunjukkan diri kepada mereka.
        Mat 25:32 Segala bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya. Lalu Ia akan memisahkan mereka menjadi dua kumpulan seperti gembala memisahkan domba dari kambing.

        Coba dibandingkan dengan ini kalimat dibawah ini:
        Dengan berkata demikian, bukan berarti saya menganggap bahwa semua perkataan dan perbuatan Paus Fransiskus sangatlah buruk, walau saya secara pribadi beranggapan bahwa Paus Fransiskus termasuk dalam salah satu Paus terburuk setelah Konsili Vatikan II.

        Suka

      2. Well, anda ingin jawaban bahwa Allah tidak dapat dipahami manusia? Kalau begitu silakan merenungkan bagaimana Allah yang maha besar itu dapat hadir secara nyata dalam Ekaristi. Silakan merenungkan bagaimana dalam pribadi Kristus terdapat dua kodrat, manusiawi dan ilahi.

        Ayat Kitab Suci yang anda sebutkan justru menguatkan argumen saya. Anda ingin contoh klasifikasi lainnya? Dalam Kitab Suci ada pembedaan antara orang benar dan orang fasik, pendosa dan pentobat, dst. Gereja sendiri juga membedakan mereka yang berada dalam kondisi berahmat dan mereka yang berada dalam kondisi dosa berat, ada sekelompok orang yang ortodox dan heretic, dst. Jadi, pembedaan atau klasifikasi tidak selalu buruk.

        Posisi saya yang menyatakan bahwa Paus Fransiskus adalah Paus yang terburuk tidak sama dengan menyatakan bahwa seluruh aspek kepribadian Paus Fransiskus adalah buruk. Saya membatasi diri menyebutnya sebagai paus terburuk SETELAH KONSILI VATIKAN II, yang artinya, silakan bandingkan kepausan jaman Paus Paulus VI, Yohanes Paulus I, Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dengan kepausan yang sekarang. Saya sudah mempelajari kepausan setelah KV II, dan dapat menjelaskan secara panjang lebar, namun itu tidak ada dalam prioritas saya saat ini. Jadi, posisi saya memang dapat diperdebatkan. Kalau mau membandingkan dengan semua paus, maka apa yang dilakukan Paus Fransiskus tentu tidaklah seburuk paus lainnya.

        Beberapa orang Katolik Indonesia yang saya ketahui, begitu mudahnya mencecar atau mengkritik presiden, anggota DPR, dst. Lalu kenapa saya tidak boleh mengkritik para petinggi Gereja? Seseorang dapat berargumen siapa presiden Indonesia yang terbaik atau teburuk, dan itu sah-sah saja. Jangan sampai umat Katolik Indonesia itu menjadi naif, seolah-olah seorang pemimpin rohani haruslah sempurna dan tanpa cacat cela. Kenyataannya justru sebaliknya.

        Suka

      3. Bonaventura Hasta Prayitna · ·

        Cornelius,
        Terima kasih telah meluangkan waktu untuk sharing.
        Dalam sharing ini mengingatkan saya tentang sebuah cerita dan kisah dalam Injil :
        1. Cerita St. Agustinus dengan anak kecil di tepi pantai.
        2. Kisah dalam Injil Yohanes 8, Tuhan Yesus menyampaikan tentang terang dunia setelah Tuhan Yesus dicobai oleh orang-orang Yahudi yang mendapatkan seorang perempuan berzinah.

        Selamat berkarya, Tuhan Memberkati.

        Suka

      4. Ini jawaban terakhir saya untuk menutup diskusi ini.

        1. Kisah St. Augustinus menjabarkan bahwa Agustinus berusaha memahami misteri Allah Tritunggal dengan akal budinya sendiri, yang semakin menunjukkan poin saya bahwa Allah hanya dapat dipahami secara terbatas oleh nalar manusia, bukan tidak dapat dipahami sama sekali.
        2. Saya tidak tahu apa maksud anda menuliskan kisah Yoh 8, namun perenungan anda tentu akan berbeda dengan perenungan saya.

        Terima kasih juga atas diskusinya.

        Suka

  2. Bonaventura Hasta Prayitna · ·

    “And I believe in God, not in a Catholic God, there is no Catholic God, there is God and I believe in Jesus Christ, his incarnation. Jesus is my teacher and my pastor, but God, the Father, Abba, is the light and the Creator. This is my Being. Do you think we are very far apart?”

    “Dan saya percaya pada Allah, bukan pada Allah Katolik, tidak ada Allah Katolik, ada Allah dan saya percaya dalam Yesus Kristus, inkarnasi-Nya. Yesus adalah guru dan gembala saya, tapi Allah, Bapa, adalah terang dan Sang Pencipta. Ia keberadaan saya. Apa kamu berpikir kita terpisah begitu jauh?”

    Menurut saya kalimat tersebut di atas benar dan tidak bertentangan dengan ajaran Katolik.
    Allah nya orang Katolik adalah “Allah Yang Benar” tetapi “Allah Yang Benar” ini bukan hanya untuk orang Katolik. “Allah Yang Benar” ini untuk semua orang termasuk mereka yang tidak percaya kepadaNya.

    Suka

    1. Shalom Bonaventura,

      Perkataan anda benar, karena anda menafsirkan perkataan Paus Fransiskus dengan tepat. Namun tetap saja, ada cara yang lebih baik untuk mengungkapkan kebenaran iman bahwa hanya Katolik yang memiliki gambaran Allah secara penuh dan benar, saya sudah sertakan di link sebelum kutipan Paus tersebut. Silakan dibaca.

      Suka

      1. Bonaventura Hasta Prayitna · ·

        Jadi yang menjadi masalah adalah “cara mengungkapkan”, penilaian sebuah “cara mengungkapkan” itu sangat subyektif.

        “hanya Katolik yang memiliki gambaran Allah secara penuh dan benar”

        penyataan tersebut menimbulkan pertanyaan: Seberapa besar Allah itu sehingga bisa digambarkan dengan “penuh”?

        Suka

      2. Pilihan kata, keselarasan kata dengan ajaran iman, merupakan contoh kriteria penilaian yang objektif. Tidak semata subjektif. Sekalipun perkataan Paus Fransiskus bisa diartikan dengan tepat, namun opsi untuk menggunakan bahasa yang jelas dan precise tetap ada.

        Terhadap pertanyaan tersebut, saya akan menjawab demikian: Allah yang Maha Besar itu sudah menyatakan diri-Nya, mewahyukan kebenaran ilahi yang perlu diketahui oleh manusia. Sekalipun kata-kata manusia memiliki keterbatasan dalam memahami Allah, namun keterbatasan itu tidak membuat Allah menjadi tidak terpahami.

        Kalau kita meyakini hanya ada Satu Allah, maka hanya ada satu kebenaran. Dan Allah yang satu ini telah mendirikan Gereja Katolik dan mempercayakan kepadanya deposit iman, hal-hal apa saja yang perlu bagi keselamatan. Kalau ingin memahami Allah secara penuh, maka pelajarilah apa yang diajarkan Gereja tentang Allah.

        Suka