Apakah Ekumenisme adalah Kesesatan?

bxvi-ab-cant-address-west-abbey-1200

Gambar: Paus Benediktus XVI dalam Perayaan Ekumenis di Abbey Church, UK.

***

Artikel tersebut ditulis oleh Rm. Brian W. Harrison, O.S., M.A., S.T.D., dan diterjemahkan dengan sedikit penyesuaian dari artikel asli yang berjudul “Is Ecumenism Heresy?” (silakan diklik).

[Dokumen] yang bersaing dengan Deklarasi tentang Kebebasan Beragama untuk mendapatkan penghormatan (atau aib, tergantung perspektif teologis seseorang) sebagai dokumen Konsili Vatikan II yang paling innovatif secara doktrinal ialah Dekrit tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio (UR). Mereka yang berada di ujung spektrum Katolik tradisionalis dan liberal melihat  Dekrit ini sebagai dokumen yang meninggalkan ajaran tradisional secara signifikan. Ajaran tradisional Katolik menekankan Katolisisme sebagai satu-satunya agama yang benar, yang kepadanya umat Kristen yang terpisah harus kembali bila kesatuan hendak dipulihkan. Dalam artikel pendek ini, saya akan membatasi pembahasan saya dengan membandingkan UR dan dokumen pra-Konsili Vatikan II yang paling sering dikutip untuk memperlihatkan ketidakcocokan di antara keduanya, yakni ensiklik Paus Pius XI tahun 1928 tentang upaya memelihara kesatuan religius, Mortalium Animos (Mengenai Kesatuan Religius, selanjutnya disingkat MA). Ensiklik ini memaparkan posisi Gereja Katolik terhadap permulaan gerakan untuk kesatuan religius yang telah menggalang kekuatannya dalam lingkup Protestan liberal sejak akhir abad ke-19 dan awal abad 20.

Guna membandingkan kedua dokumen magisterial ini, pertama, kita perlu mengingat pembedaan antara pemutarbalikkan kebijakan resmi Gereja, disiplin atau strategi pastoral, dengan kontradiksi ajaran. Jenis perubahan yang pertama kerap terjadi di sepanjang sejarah Gereja, sebagai tanggapan atas situasi yang berubah. Dan dalam aspek praktis dan disipliner ini, perbandingan antara MA dan UR menyingkapkan perubahan arah yang sangat menonjol dan tak dapat disangkal – sungguh merupakan perputaran haluan secara praktis. Pius XI melarang partisipasi Katolik apapun dalam pertemuan antargereja atau antaragama yang didorong oleh keinginan untuk memulihkan kesatuan Kristiani. Vatikan II, di sisi lain, mengizinkan dan secara positif mendorong partisipasi Katolik dalam kegiatan-kegiatan tersebut (sekalipun dengan batasan-batasan tertentu). Karenanya, Gereja Modern telah membuat penilaian prudent (prudential judgement) bahwa risiko dan bahaya indiferentisme dan kebingungan tentang iman yang ditimbulkan aktivitas-aktivitas tersebut – yakni bahaya-bahaya yang ditekankan amat kuat oleh Pius XI – lebih kecil bobotnya daripada kebaikan besar yang diharapkan sebagai hasil ekumenisme jangka panjang: tumbuhnya saling pengertian secara bertahap dan lebih baik, yang mengarah kepada kesatuan yang Kristus kehendaki bagi semua orang yang mengaku diri sebagai murid-murid-Nya.

Pada tingkat ajaran yang lebih hakiki, jawaban singkat atas tuduhan kontradiksi ajaran antara MA dan UR adalah bahwa apa yang dicela Pius XI sama sekali bukanlah hal yang sama dengan hal yang ditegaskan Vatikan II. Apa sesungguhnya yang dicela Paus Pius sebagai ajaran sesat? Pada dasarnya, [ajaran sesat yang dicela itu adalah] teologi Protestan liberal yang mendominasi inisiatif-inisiatif ekumenis di awal abad 20. Secara spesifik, teologi ini mewujudkan – secara eksplisit atau setidaknya secara implisit – beberapa tesis spesifik yang dikecam Pius XI.

Empat Kekeliruan Ekumenis

(1) Kaum pan-religionis awal biasanya mengambil pendekatan “titik persamaan terrendah’ (catatan: saya terjemahkan lowest common denominator dengan istilah titik persamaan terendah): mereka membayangkan “kesatuan” religius sedunia yang di dalamnya semua sepakat akan beberapa keyakinan mendasar selagi “sepakat untuk berbeda” akan keyakinan-keyakinan lain. Paus mengamati bahwa kaum religius liberal ini kelihatannya “berharap bahwa semua bangsa, walau memang berbeda dalam perkara-perkara keagamaan, namun tanpa kesulitan besar, dapat dibawa pada persetujuan persaudaraan tentang sejumlah ajaran yang akan membentuk dasar bersama bagi hidup rohani” (MA 2). “Kesatuan” hipotetis dalam satu “agama dunia” ini tentu mencakup kaum non-Kristiani dalam semua jenisnya.

(2) Pius XI bersikeras bahwa kekeliruan di atas melibatkan kekeliruan lain pada tingkat yang lebih dalam: yakni penyangkalan akan prinsip kebenaran yang diwahyukan, yang mensyaratkan persetujuan kepada Sabda Allah atas dasar otoritas-Nya. Mengenai upaya-upaya kaum pan-religious kontemporer bekerja atas dasar prinsip no. (1), Paus berkata demikian:

“[upaya-upaya tersebut] mengandaikan sudut pandang yang keliru bahwa semua agama kurang lebih baik dan terpuji, sejauh semuanya memberikan ungkapan, dalam beragam bentuknya, akan kesadaran bawaan yang menuntun manusia kepada Allah dan kepada pengakuan dalam ketaatan akan kekuasaan-Nya. Mereka yang menganut pandangan ini bukan banya keliru, mereka mendistorsi gagasan sejati tentang agama, dan karenanya menolaknya, dan jatuh secara bertahap ke dalam naturalisme dan ateisme. Mendukung pendapat ini, karenanya, dan mendorong upaya-upaya tersebut, sama halnya dengan mengabaikan agama yang diwahyukan Allah” (MA 2).

Gagasan ini bahwa semua agama hanyalah ungkapan insani yang beragam (dan falibel) akan dorongan atau insting religius dalam diri manusia adalah salah satu dari kekeliruan hakiki modernisme yang belakangan ini dikecam oleh Paus Pius X.

(3) Berpaling dari hakikat batiniah iman menuju kepada bentuk-bentuk kasatmata dan lahiriah dari organisasi, Pius XI menemukan kekeliruan lain yang terkait. Dalam inisiatif-inisiatif itu yang membatasi pencarian akan kesatuan kepada mereka yang sudah mengakui iman dalam Kristus – apa yang disebut Gereja hari ini sebagai “ekumenisme” yang dibedakan dari “dialog antaragama” – Paus melihat adanya ekklesiologi (pemahaman teologis tentang Gereja) yang keliru. “Gereja Kristen” yang bersatu secara kasatmata yang diimpikan oleh kaum Protestan liberal ekumenis ini tidak lain adalah “federasi beragam komunitas Kristen, sekalipun mereka dapat menganut doktrin-doktrin yang berbeda dan saling bertentangan” (MA 6).

(4) Paus menunjukkan bahwa ekklesiologi tersebut selanjutnya melibatkan gagasan terkait bahwa kesatuan yang didoakan Kristus – ut unum sint – “sekadar mengungkapkan keinginan atau doa yang belum dikabulkan. Sebab mereka [para ekumenis kontemporer] berpandangan bahwa kesatuan iman dan kepemimpinan yang adalah karakteristik Gereja Kristus yang sejati dan tunggal, sampai saat ini, belumlah ada dan tidak ada pada masa kini… Ia harus dianggap sebagai cita-cita belaka” (MA 7).

Sebelum membahas UR dalam terang gagasan-gagasan tercela ini, kita dapat mempertimbangkan keberatan umum lainnya. Para pengkritik dari kalangan tradisionalis sering mengklaim bahwa UR membiarkan konsep kunci ekumenisme tidak didefinisikan. Saya curiga bahwa keprihatinan ini muncul dari terjemahan keliru dalam common Flannery edition dari dokumen KV2, yang mana Konsili sekadar “menandakan” apa yang termasuk dalam “gerakan ekumenis”. Terjemahan yang lebih setia dari pembukaan UR 4 pada paragraf kedua, yang memperlihatkan karakternya sebagai sebuah definisi, adalah sebagai berikut: “Yang dimaksudkan “gerakan ekumenisme” ialah aktivitas-aktivitas dan inisiatif-inisiatif yang didorong dan diatur, seturut aneka kebutuhan Gereja dan ketika situasi yang tepat muncul, guna mendukung kesatuan umat Kristen.” Konsili membuat definisi ini menjadi lebih akurat dengan menetapkan jenis “aktivitas dan inisiatif” yang ada dalam pikirannya: (a) menghindari semua misrepresentasi dari keyakinan dan praktik umat Kristen yang terpisah; (b) dialog antara cendekiawan yang berbeda denominasi untuk tujuan meningkatkan saling pengertian; (c) kolaborasi  yang lebih ekstensif dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban demi kebaikan bersama yang diakui oleh “setiap hati nurani orang Kristen”; (d) pertemuan untuk doa bersama, ketika hal tersebut diizinkan; (e) membaharui dan membenahi Gereja sendiri dalam kesetiannya kepada kehendak Kristus. Sudah cukup jelas bahwa poin (b), (c), dan (d) memang melonggarkan larangan disipliner dari MA, namun tidak ada dari kelima poin tersebut yang bertentangan dengan kebenaran doktrinal sebagaimana dijelaskan Pius XI dalam ensikliknya.

Dekrit UR: Tidak Ada Kekeliruan Di Sini

Sekarang kita dapat mempertimbangkan UR dalam terang empat kekeliruan yang dicela Paus Pius di atas:

(1) Apakah Vatikan II menggunakan pendekatan “titik persamaan terendah” untuk “menyeimbangkan” kesatuan dan kebenaran? Tidak sama sekali. UR 3 menegaskan bahwa selagi saudara-saudari terpisah memiliki banyak unsur kebenaran, kehendak Allah adalah agar mereka semua datang kepada kepenuhan yang hanya dapat ditemukan dalam Katolisisme:

Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah … dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh kristus di dunia. Dalam tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk umat Allah. (UR 3)

Dekrit tersebut juga mengingat bahwa walau terdapat “hirarki” kebenaran-kebenaran Katolik, sejauh kebenaran-kebenaran ini beragam dalam “relasi mereka kepada fondasi iman Kristen”, ini tidak berarti bahwa keyakinan Katolik yang kurang “hakiki” – keyakinan yang tidak dianut oleh Protestan dan Kristen Ortodoks – dapat “diperdebatkan” atau disangkal. (Misalnya, kebenaran-kebenaran yang diwahyukan tentang Bunda Maria berasal dari ajaran Inkarnasi, dan bukan sebaliknya). Sebaliknya, “Memang seharusnyalah ajaran [Katolik] seutuhnya diuraikan dengan jelas. Tiada sesuatupun yang begitu asing bagi ekumenisme seperti irenisme (sikap “suka damai) palsu, yang merugikan bagi kemurnian ajaran katolik, serta mengaburkan artinya yang otentik dan pasti” (UR 11).

(2) Apakah UR mengimplikasikan suatu kemerosotan bertahap ke dalam naturalisme dengan mengorbankan wahyu ilahi, yang mengarah kepada pengabaian semua kebenaran yang diwahyukan? Tidak, karena ia tidak pernah menerima premis yang mengarah kepada “jalan buntu” sebagaimana dikatakan Pius XI, yaitu gagasan modernis bahwa agama-agama yang berbeda “hanya memberi ungkapan, dalam beragam bentuknya, akan kesadaran bawaan yang menuntun manusia kepada Allah.” Ajaran Konsili Vatikan II, yang berlawanan dengan penjelasan naturalistik tentang agama ini, menekankan realitas adikodrati wahyu dan iman. UR menyatakan bahwa “Gereja Katolik telah dianugerahkan dengan semua kebenaran yang diwahyukan secara ilahi dan dengan semua sarana rahmat” (UR 4, bdk. UR 3). Lebih lanjut, “Kristus mempercayakan kepada Kolegium Keduabelas Rasul tugas untuk mengajar, memimpin dan menguduskan… Dan setelah pengakuan iman Petrus, ia menetapkan agar di atasnya lah Ia akan membangun Gereja-Nya… [dan] mempercayakan semua domba-Nya kepadanya untuk diteguhkan dalam iman” (UR 2). Para Bapa Konsili yang mempromulgasikan UR, pastinya, adalah mereka yang satu tahun kemudian mempromulgasikan Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, yang berperan sebagai kunci penafsiran bagi dokumen Konsili lainnya yang menyinggung pokok tersebut.

(3) Apakah UR membayangkan sebuah “Gereja” masa depan yang bersatu sebagai “federasi” denominasi-denominasi Kristen yang berbeda, yang sepakat untuk berbeda pendapat setidaknya dalam beberapa perkara doktrinal? Tidak ditemukan ajaran tersebut dalam dokumen UR. Vatikan II menawarkan kesatuan yang dikehendaki Allah sebagai kesatuan yang di dalamnya semua orang adalah Katolik. Setelah memperjelas bahwa “Gereja” yang mereka maksudkan adalah tubuh yang dipimpin oleh “para Uskup bersama Penerus Petrus sebagai kepala mereka” – yakni Gereja Katolik Roma – para Bapa Konsili melanjutkan:

“Demikianlah Gereja, kawanan tunggal Allah, bagaikan panji-panji yang dinaikkan bagi bangsa-bangsa, sambil melayani Injil kedamaian bagi segenap umat manusia, berziarah dalam harapan menuju cita-cita tanah air di Sorga. Itulah misteri kudus kesatuan Gereja, dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus, disertai oleh Roh Kudus yang mengerjakan kemacam-ragaman kurnia-kurnia. Pola dan Prinsip terluhur misteri misteri itu ialah kesatuan Allah Tritunggal dalam tiga Pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.” (UR 2)

(4) Dari yang telah dikatakan, jelaslah bahwa Dekrit tentang Ekumenisme tidak mengajarkan keempat kesesatan yang dikecam oleh Pius XI dalam Mortalium Animos, yakni, gagasan bahwa kesatuan Gereja adalah cita-cita masa depan belaka yang mana umat Kristen yang berpisah harus bekerja untuk membangunnya, sejauh [kesatuan] tersebut belum ada. Tentu, kita perlu membedakan dengan cermat antara kesatuan Gereja dan kesatuan di antara umat Kristen. Jelaslah, bila kita memahami kata “Kristen” untuk mencakup semua orang yang mengakui iman dalam Kristus, kesatuan [di antara orang Kristen] belumlah ada – dan tidak pernah ada sejak skisma pertama muncul di masa Perjanjian Lama! Tapi perpecahan tersebut tidak mengimplikasikan bahwa Gereja itu sendiri adalah – atau dapat menjadi – tidak bersatu, dalam arti dipecah ke dalam denominasi-denominasi berbeda yang menganut doktrin-doktrin yang berbeda. Artikel kredo kita yang ini: “Gereja yang satu kudus, Katolik, dan apostolik” mengecualikan hal tersebut. Demikian pula posisi UR, ketika ia mengungkapkan harapan agar, sebagai hasil dari ekumenisme,

“lambat-laun teratasilah hambatan-hambatan, yang menghalang-halangi persekutuan gerejawi yang sempurna, dan semua orang kristen dalam satu perayaan Ekaristi dihimpun membentuk kesatuan Gereja yang satu dan tunggal. Kesatuan itulah yang sejak semula dianugerahkan oleh Kristus kepada Gereja-Nya. Kita percaya, bahwa kesatuan itu tetap lestari terdapat dalam Gereja Katolik, dan berharap, agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman.” (UR 4).

Apakah Ekumenisme sebagaimana dijelaskan UR telah diterapkan dengan setia atau tidak – bahkan oleh para pemimpin Gereja – pada beberapa dekade setelah Konsili Vatikan II, adalah pertanyaan yang berbeda. Pertanyaan lanjutannya adalah, dengan melihat ke belakang, apakah hasil-hasil yang dicapai setelah setengah abad membuktikan kebijaksanaan perubahan disipliner UR yang “membuka jendela”. Saya pikir umat Katolik sekarang dapat secara sah memperdebatkan kedua pertanyaan ini. Setidak-tidaknya, jika perbandingan singkat ini telah membantu memperlihatkan bahwa Konsili tidak jatuh ke dalam penyimpangan doktrinal yang dicela Pius XI tahun 1928,  maka artikel tersebut telah mencapai tujuannya.