Panduan Katolik untuk Bertahan Hidup dalam Pandemi Coronavirus COVID-19 (Bagian Ketiga)

Panduan Katolik untuk Bertahan Hidup dalam Pandemi COVID-19

Bagian Ketiga

PERSIAPAN UNTUK MENGHADAPI EMPAT HAL TERAKHIR

Kematian – Penghakiman – Surga – Neraka

Oleh Diakon Nick Donnelly

Secara tradisional, Prapaskah adalah masa pertobatan ketika umat beriman didorong Gereja untuk mengkontemplasikan Empat Hal Terakhir – Kematian, Penghakiman, Surga dan Neraka – sebagai motivasi untuk menyesali dosa dan bertobat. Dalam Masa Prapaskah yang lalu ini, di tengah pandemi terburuk dalam ratusan tahun, orientasi eskatologis yang dihidupi semua manusia namun sebagian besar diabaikan, kini mendapat perhatian yang lebih tajam karena ancaman penyakit dan kematian yang selalu ada. Generasi umat katolik sebelumnya menganggap serius peringatan yang terdapat dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci – bahwa wabah dapat mengungkapkan kemurkaan Allah atas kebejatan dosa manusia, yang harus kita tanggapi dengan penyesalan dan pertobatan. Salah satu berkat yang muncul dari COVID-19 adalah terpusatnya pikiran umat beriman kepada Empat Hal Terakhir, yang mendorong kita untuk menjalani pemeriksaan batin dengan sikap tobat dalam rangka menghadapi prospek penghakiman ilahi yang secara mendadak menjadi semakin nyata.

Tahun 1979, Kongregasi Ajaran Iman (KAI) menerbitkan dokumen “Beberapa Pertanyaan Tertentu Mengenai Eskatologi” yang mengingatkan tentang keraguan dan kegelisahan di antara umat beriman mengenai ‘takdir mereka setelah kematian.’ Mereka mengingatkan bahwa hal ini mengakibatkan banyak orang menahan diri untuk tidak berpikir tentang ‘takdir mereka sesudah kematian’ karena takut, dan mereka terombang-ambing tanpa teologi pengharapan yang meyakinkan. KAI menelusuri asal mula rasa takut ini kepada kontroversi pasca Konsili Vatikan II tentang doktrin-doktrin pokok seperti eksistensi jiwa dan kehidupan kekal yang memisahkan umat beriman dari kebenaran dan kosa kata tradisional; ‘Semua ini menganggu umat beriman, karena mereka tidak menemukan kosakata dan gagasan yang sudah mereka kenal.’

Terdapat dua devosi tradisional yang populer sebelum Konsili Vatikan II, yang mempersiapkan dan menghibur umat beriman dalam menghadapi penghakiman individual setelah kematian dan Penghakiman Terakhir di akhir zaman: devosi kepada Darah Mulia Tuhan kita dan devosi kepada Lima Luka Suci Kristus. Prof. Eamon Duffy menggambarkan tubuh Kristus yang terluka dalam devosi ini sebagai ‘sebuah hieroglif kasih’:

“Doa dan citra telah bertemu bersama melalui asosiasi yang mana Kristus yang tersalib dan terluka ditonjolkan sebagai penjamin bagi pengharapan orang Kristen yang sekarat. Apa yang bermulai sebagai devosi quasi-liturgis terhadap Sengsara [Tuhan] menjadi permohonan mendalam seseorang akan penebusan di waktu ajal” (Stripping of the Altars: Traditional Religion in England 1400-1580, p.242.)

Devosi tradisional kepada Darah Mulia dan Luka Suci ini memberikan kita lebih banyak daripada kosakata dan gagasan untuk memahami realita Eskatologis yang kita hadapi. Devosi ini memperdalam relasi kita dengan Tuhan Kita Yesus Kristus sebagai Penebus dan Hakim kita. ‘Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat’ (2 Korintus 5:10).

Tubuh Kristus menyelamatkan kita dari murka Allah

Tubuh Kristus yang suci menyelamatkan orang benar dari murka penghakiman Allah atas dosa-dosa mereka. Di waktu ajal kita membawa sejarah dosa pribadi kita ke dalam kehadiran kekudusan absolut Allah. St. Agustinus menggambarkan pertemuan antara kekotoran dosa-dosa kita dengan kemurnian kekudusan Allah yang berkenaan dengan murka ilahi, ia menulis:

“Wahai manusia, ketika engkau hadir di hadapan Penciptamu untuk diadili, kau akan melihat di hadapanmu seorang Allah yang murka. Di satu sisi, dosa-dosamu akan menudingmu; di sisi lain, iblis siap untuk merenggutmu sebagai miliknya. Hati nuranimu akan mengganggu dan menyiksamu, neraka akan terbuka di kakimu” (St. Augustine quoted by St. Don Bosco in The Companion of Youth, p.51.)

Dengan hilangnya kesadaran akan dosa secara tragis, sebagaimana diamati Paus Pius XII tahun 1946, terdapat pula hilangnya pengetahuan akan murka Allah secara total dan mengerikan, yang mereduksi penghakiman ilahi menjadi latihan hitung-hitungan, atau paling buruk, menjadi tidak ada. Kitab Suci dan Tradisi Suci menjelaskan bahwa eskatologi memiliki dua kutub – murka ilahi dan kerahiman ilahi, ‘Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya’ (Yoh 3:36).

Orang benar diselamatkan dari murka Allah atas dosa mereka dengan secara sakramental dibenamkan ke dalam Luka Kristus yang Mulia yang ditumpahkan dari Luka-Luka Tubuh Suci-Nya yang berharga dan dipersembahkan kepada Bapa sebagai kurban sempurna di Salib:

“Yesus tanpa henti memandang wajah Bapa-Nya dan dengan kasih yang tak terhingga, Ia menyerahkan Tubuh-Nya untuk memperbaiki penghinaan yang dipanjatkan kepada Keagungan Abadi” Factus obediens usque ad mortem [Ia menjadi taat sampai mati]” (Bl. Columba Marmion, Christ in His Mysteries, p.281.)

Abbot Vornier, seraya mengkomentari pemahaman St. Thomas Aquinas, mengamati bahwa kualitas unik dari tubuh Putra Allah yang berinkarnasi, yang dicurahkan melalui darah-Nya, yang membentuk kurban sempurna dan tak tergantikan ini (Abbot Vornier, A Key to the Doctrine of the Eucharist, p. 108.). Apakah kualitas-kualitas unik yang dimiliki Tubuh Kristus yang suci yang membuatnya menjadi kurban sempurna yang mampu menyelamatkan kita dari murka Allah? St. Thomas Aquinas menulis bahwa ia adalah ‘Tubuh Kekudusan dan kemurnian yang sepenuhnya ilahi’, sambil mengutip St. Agustinus:

“Apakah ada hal yang demikian bersih, dengan kuasa untuk membersihkan dosa-dosa manusia, seperti tubuh itu, yang lahir dari sebuah rahim tanpa noda nafsu badani sedikitpun, yang lahir dalam rahim seorang perawan? Dan bisakah apapun dipersembahkan dan diterima dengan rahmat yang demikian, selain tubuh kurban kita, yang telah menjadi tubuh Imam Kita?” (ST III, q.48,a.3,ad 1.)

Rm. Matthias Scheeben menekankan bahwa kualitas unik Tubuh Kristus disebabkan karena tubuh manusia diambil oleh Putra Allah yang dilahirkan secara kekal, dan karenanya ambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Mahakudus:

“Tubuh insani Kristus bersesuaian dengan aura kemuliaan cemerlang yang melimpahi-ya dalam kodrat ilahi-Nya, dan darah insani-Nya bersesuaian dengan sungai kehidupan dan kasih yang menyembur keluar dari hati ilahi-Nya. Maka, dengan ambil bagian dalam tubuh-Nya kita diterangi oleh terang kebenaran abadi, dan diubah rupa dan diubah oleh kemuliaannya; dan dalam darah-Nya; lautan kehidupan kekal dan kasih ilahi membanjiri hati kita” (The Mysteries of Christianity, p.524.)

Dengan menyadari lebih dalam tentang dimensi sakramental hakiki akan partisipasi kita dalam Tubuh dan Darah Kristus yang menyelamatkan, hal ini membuat kemustahilan menerima sakramen-sakramen karena COVID-19 menjadi kian menyakitkan untuk ditanggung. Namun, dalam Penyelenggaraan Ilahi-Nya, Allah memberikan kita melalui devosi kepada Darah Kristus yang Mulia dan Luka-Luka Suci-Nya, sarana lainnya untuk memperoleh rahmat-Nya yang menyelamatkan, selain Sesal Sempurna dan Komuni Rohani.

Devosi kepada Darah Kristus yang Mulia

Sejak zaman Para Rasul, Darah Mulia Yesus telah menarik perhatian umat beriman untuk berdevosi, menjunjung dan menghormatinya sebagai penyebab Penebusan kita. St. Petrus menulis, ‘Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat’ (1 Petrus 1:18-19). Dan St. Paulus menulis, ‘Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.’; ‘Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya’ (Roma 5:9, Efesus 1:7).

Katekismus Paus Pius V menjelaskan bahwa umat beriman harus memahami ‘buah-buah darah yang mengagumkan, yang ditumpahkan dalam Sengsara Tuhan kita’:

  1. Darah Perjanjian Baru dan Kekal memberi kita akses kepada warisan abadi.
  2. Melalui iman dalam Darah Kristus kita telah memiliki akses kepada keadilan Allah.
  3. Melalui Darah Yesus yang Mulia dosa-dosa kita dihapuskan.

Dr. Ludwig Ott menjelaskan bahwa Tradisi menyebut Darah Yesus sebagai ‘Mulia’ karena sebagai darah dari Logos Ilahi, darah Yesus Kristus adalah “Darah Mulia” (Fundamentals of Catholic Dogma, p. 151.) “Darah Mulia, oleh karena itu, adalah bagian dari Kemanusiaan Suci Yesus dan secara hipostatis disatukan kepada Pribadi Kedua Tritunggal Mahakudus” (Catholic Encyclopaedia).

Makna soteriologis dari darah Yesus yang disatukan secara hipostatis dengan Putra Allah dijelaskan oleh Paus Clement VI pada tahun 1343, yang menjabarkan salah satu unsur utama devosi kepada Darah Mulia:

“…dengan darah mulia Putra-Nya sebagai anak domba yang tak bercela dan bernoda Ia telah menebus kita” (bdk. 1 Pet 1:18-19), yang tak berdosa, dan dikurbankan di altar Salib, dan telah diketahui bahwa Ia telah mencurahkan bukan setetes darah, yang oleh karena persatuan dengan Sang Sabda akan cukup untuk menebus seluruh umat manusia, namun [darahnya] secara berlimpah [telah tercurah] seperti semacam aliran yang mengalir” (Unigenitus Dei Filius).

Tema nilai Darah Pribadi Kedua Tritunggal yang tak terhingga ini telah menjadi permenungan devosional favorit dari sejumlah orang kudus. St. Thomas Aquinas, dalam himne Ekaristisnya, Adoro te devote, menulis, ‘Ya Yesus, Pelikan Surgawi, berkenanlah membasuh kenistaan saya dan bersihkan saya dengan darah-Mu, yang satu tetesnya dapat membebaskan seluruh dunia dari dosa-dosanya’. Columba Marmion yang Terberkati menulis, ‘Setetes Darah Yesus, Allah manusia, akan cukup menyelamatkan kita, karena segala sesuatu dalam diri-Nya memiliki nilai tak terhingga’ (Christ in His Mysteries, p.282). Seraya mendorong devosi kepada Darah Mulia, Paus St. Yohanes XXIII menulis, ‘Keefektifan Darah Allah-Manusia sungguh tak terbatas… kasih yang terlampau besar ini menandakan, bahkan menuntut, agar setiap orang yang dilahirkan kembali dalam semburan Darah itu menyembahnya dengan kasih dan rasa syukur’ (On Promoting Devotion to the Most Precious Blood of Our Lord Jesus Christ.). St. Teresa dari Calcutta menulis, ‘Tempatkanlah dosa-dosamu dalam piala Darah Manusia untuk dibasuh. Satu tetesnya mampu membasuh dosa-dosa dunia.’

Doa-Doa Devosional kepada Darah Mulia Yesus

Buku doa tahun 1926 yang berjudul ‘Devosi kepada Darah Mulia’ (Tan Books) menguraikan beberapa doa devosi tradisional ini.

St. Mary Magdalen de Pazzi (1566-1607) menganjurkan ‘setiap kali seorang ciptaan mempersembahkan Darah ini yang olehnya ia ditebus, ia mempersembahkan karunia yang nilainya tak terbatas, yang tak dapat disamai oleh apapun!’ (hal. 6). Ia mempersembahkan Darah Mulia Yesus lima puluh kali sehari untuk membebaskan jiwa-jiwa yang menderita di Api Penyucian (hal 14):

Bapa yang kekal, aku mempersembahkan kepada-Mu Darah Yesus yang Mulia, sebagai penebusan bagi dosa-dosaku, dan bagi kebutuhan-kebutuhan Gereja yang Kudus. Amin.

Ya Bapa yang Kekal, aku mempersembahkan kepada-Mu, melalui Perawan Maria yang Tak Bernoda, Darah Mulia Putra-Mu demi pembebasan jiwa-jiwa yang menderita di Api Penyucian. Amin.

Rm. Frederick Faber dari Oratorian (1814-1864) menganjurkan agar setiap malam, sebelum tidur, kita ‘memohon Perawan Maria yang Terberkati untuk mempersembahkan kepada Allah Darah Mulia Putra Ilahinya, Yesus, demi intensi agar dosa berat yang mungkin dilakukan di suatu tempat pada malam itu, dapat dicegah. Ia juga menjelaskan bahwa bila setiap pagi persembahan ini diperbarui dari hari ke hari, kita dapat mencegah banyak dosa berat’ (hal 10):

Wahai Perawan Maria yang Kudus dan Tak Berdosa, persembahkanlah kepada Bapa yang kekal Darah Mulia dari Putra Ilahimu demi intensi agar satu dosa berat dapat dicegah pada hari ini (atau malam ini). Amin.

Seraya menampilkan kebenaran ungkapan ‘Lex orandi, lex credendi’, Litani Darah Yang Amat Mulia (hal 37-41) mencakup permohonan yang mengungkapkan betapa Darah Mulia Kristus menyelamatkan kita dari Murka Allah (hal 39):

Darah Yesus, yang meredakan murka Bapa,

Sucikanlah kami, Darah Mulia!

Darah Yesus, yang meringankan atau menangkal hukuman-hukuman,

Sucikanlah kami, Darah Mulia!

Darah Yesus, penebusan untuk dosa-dosa kami,

Sucikanlah kami, Darah Mulia!

Darah Yesus, tempat pembasuhan jiwa yang berdosa,

Sucikanlah kami, Darah Mulia!

Darah Yesus, balsem bagi luka-luka jiwa,

Sucikanlah kami, Darah Mulia!

Devosi kepada Darah Mulia Kristus selama Pandemi COVID-19

Kemustahilan menerima dalam komuni Darah Mulia Tuhan Kita Yesus Kristus karena pandemi COVID-19, menmbuat devosi tradisional kepada Darah Mulia Yesus sebagai cara lain untuk memperdalam kasih kita kepada Ekaristi Mahakudus. Ia memampukan kita untuk menyatukan doa-doa kita kepada Kurban Misa yang dipersembahkan secara pribadi oleh para imam di seluruh dunia.

  1. Karena kita tidak mampu menerima sakramen tobat, maka persembahkanlah Darah Mulia Yesus kepada Bapa sebagai penebusan untuk dosa-dosamu dan kebutuhan-kebutuhan Gereja; [yang kondisinya] amat menyedihkan lantaran penutupan gereja dan ketidakhadiran umat beriman secara fisik. Bila kamu menyadari adanya dosa berat, lakukanlah doa tobat sesal sempurna, bertekadlah untuk memperbaiki hidupmu dan pergi menerima pengakuan dosa sesegera mungkin. Selagi kamu mendoakan doa berikut, satukanlah dirimu dengan salah satu imam di mana pun di dunia yang pada saat ini sedang mempersembahkan Piala Darah Mulia Kristus:

Bapa yang Kekal, aku mempersembahkan kepada-Mu Darah Mulia Yesus, sebagai penebusan bagi dosa-dosaku yang tak dapat aku akukan, dan bagi kebutuhan-kebutuhan Gereja Kudus-Mu yang sedang dilanda [bencana]. Amin.

  1. Dengan penutupan gereja dan penangguhan kehidupan sakramental bagi jutaan umat beriman, iblis akan mencobai jiwa-jiwa yang tak terhitung jumlahnya ke dalam penistaan dan sakrilegi dosa berat. Setiap pagi dan malam mintalah Bunda Kita untuk mempersembahkan Darah Mulia Putranya kepada Bapa dengan intensi untuk menghentikan dosa berat di dunia:

Perawan Maria yang Suci dan Tak Bernoda, dengan begitu banyak orang tanpa perlindungan sakramen-sakramen, persembahkanlah kepada Bapa yang kekal Darah Mulia Putra Ilahimu dengan intensi agar satu dosa berat dapat dicegah pada hari ini (atau malam ini). Amin.

  1. Dalam krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, ketika banyak umat beriman tidak bisa meminta Misa bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian, sangat penting agar kita sering menggunakan bantuan yang ditawarkan oleh devosi kepada Darah Mulia ini. Bila peringatan meninggalnya orang yang kita kasihi terjadi selama penutupan gereja, tambahkanlah nama mereka ke dalam doa berikut:

Bapa yang Kekal, aku mempersembahkan kepada-Mu, melalui Perawan Maria yang Tak bernoda, Darah Mulia Putramu demi pembebasan jiwa-jiwa yang menderita (sebutkan namanya) di Api Penyucian. Amin.

  1. Doakanlah Litani Darah Mulia di hadapan Salib atau gambar Kain Kafan Turin.

Devosi kepada Lima Luka Suci

Devosi kepada Lima Luka Suci Kristus dapat ditelusuri hingga ke pengertian St. Petrus terhadap luka-luka Kristus yang tersalib; ‘Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh’ (1 Petrus 2:24). Terlebih, Bapa Gereja memahami bahwa merupakan intensi Kristus agar kita mendekati-Nya melalui Luka-Luka Suci-Nya. St. Agustinus menggambarkan Luka-Luka Kristus yang bangkit sebagai ‘akibat dari kuasa-Nya, bukan karena keharusan’(Letter 95, 7). St. Ambrosius juga menulis bahwa Tuhan kita memilih untuk mempertahankan Luka-Luka-Nya dalam Tubuh-Nya yang Mulia:

“Ia memilih untuk membawa ke Surga luka-luka yang Ia tanggung bagi kita, Ia menolak untuk menghapusnya, agar Ia dapat memperlihatkan kepada Bapa harga kebebasan kita. Bapa menempatkan Dia dalam kondisi ini di sebelah kanannya, merangkul piala keselamatan kita: demikianlah kesaksian mahkota bekas luka yang memperlihatkan kita di sana” (St. Ambrosius).

Mengapa Kristus ingin agar kita mendekati-ya melalui Luka-Luka Suci-Nya? Walaupun dosa-dosa kita melukai Kristus, Tubuh Suci-Nya yang secara hipostatis disatukan dengan Pribadi Kedua Tritunggal Mahakudus, mengubah luka-luka ini menjadi sarana untuk menyembuhkan luka-luka dosa dalam diri kita.

Pengubahan yang menyembuhkan ini ditunjukkan oleh luka di lambung Kristus. Dari luka ini mengalirlah darah dan air dari Hati-Nya yang Suci yang secara tradisional dipahami sebagai terbukanya rahmat pengudusan melalui sakramen-sakramen. St. Agustinus menulis: “Di sini terbuka lebar pintu kehidupan, yang darinya sakramen-sakramen Gereja menyembur keluar, yang tanpanya tidak ada yang dapat masuk ke dalam kehidupan, yang adalah kehidupan sejati” (Homilies on St. John the Evangelist, 120,2). Seraya mengomentari praktik devosional Abad Pertengahan, Prof. Duffy menulis bahwa luka suci di lambung Kristus, ‘memiliki daya devosional dan pesona khusus, karena ia memberikan kita pintu masuk ke hati-Nya, dan karenanya menjadi simbol perlindungan dalam kasih’ (Stripping of the Altars, p. 244).

Devosi kepada Luka-Luka Kristus ini sebagai tempat perlindungan atau persembunyian, merupakan ungkapan penting dan simbol pengharapan bagi para pendosa yang bertobat, yang berjuang melawan serangan godaan iblis dan juga yang menghadapi kemungkinan berdiri di hadapan Penghakiman Allah sebagai seorang pendosa. Kita dapat bersembunyi dalam Luka-Luka Kristus untuk mencari perlindungan dari iblis dan kita dapat mencari penyembuhan yang rahim atas luka-luka dosa yang diberikan diri kita dalam Lima Luka Suci.

Doa Kristologis kuno, Anima Christi (Jiwa Kristus), mengungkapkan Luka-Luka Kristus sebagai tempat perlindungan terhadap iblis:

“Ya Yesus yang baik, dengarkanlah aku;

Di dalam luka-luka-Mu, sembunyikanlah aku;

Jangan pisahkan aku dari pada-Mu;

Dari serangan yang jahat, lindungilah aku”

(diterjemahkan St. John Henry Newman)

Doa kepada Lima Luka yang terkenal dari St. Mechtilde (1240-1298) mendekati tiap luka secara individual sebagai sumber obat penyembuhan yang ke dalamnya dosa-dosa dan keinginan dosa kita dibenamkan, sebagaimana terungkap dalam bagian doa ini:

“Aku bersyukur kepada-Mu, Tuhan Yesus Kristus, karena Luka di KAKI KIRI-Mu yang menyakitkan, yang dari sana mengalir Darah Mulia yang membasuh dosa-dosaku. Di dalamnya aku benamkan dan sembunyikan semua dosa yang pernah aku lakukan.”

Yulian dari Norwich (1342-1416) menggambarkan Luka di lambung Kristus dengan kapasitas tanpa batas yang sama, yang mampu menyembuhkan manusia, sebagaimana kita pahami ketika menghargai setetes Darah Mulia Kristus yang mampu membasuh semua dosa manusia:

“Dengan wajah yang penyayang Tuhan kita yang baik memandang lambungnya, dan Ia memandang dengan sukacita, dan dengan perhatian-Nya yang manis Ia menarik pemahaman ciptaan-Nya ke dalam lambung-Nya oleh luka yang sama; dan di sana Ia menyingkapkan sebuah tempat yang indah dan nikmat, yang cukup besar bagi semua manusia yang akan diselamatkan dan beristirahat dalam damai dan kasih” (Long Text, Vision Ten).

Thomas à Kempis (1380 –1471) juga memahami Luka-Luka Kristus sebagai tempat perlindungan yang menghibur,

‘Beristirahatlah dalam Sengsara Kristus dan sudilah hidup dalam Luka-Luka Suci-Nya. Kamu akan memperoleh kekuatan yang menakjubkan dan penghiburan dalam kesusahan’ (The imitation of Christ).

Setelah mengatakan ini, Luka-Luka Kristus juga mengungkapkan dua kutub estakologi – murka ilahi dan kerahiman ilahi. Prof. Duffy menulis:

“… dipercaya bahwa ketika Kristus datang sebagai hakim Ia akan memperlihatkan Luka-Luka-Nya kepada mereka yang dipilh sebagai janji kasih-Nya untuk mereka, kepada para pendosa sebagai teguran yang pahit – ‘mereka akan memandang Dia yang mereka tikam’. Jadi, gambaran yang berbicara tentang kelembutan dan belarasa Kristus untuk pendosa dapat menjadi dakwaan mengerikan atas sikap tidak mau bertobat” (Stripping of the Altars, p. 246).

Berdevosi kepada Lima Luka Suci Kristus sebagai bagian dari kehidupan doa seseorang sungguh membantu kita. Pertama, ia membantu kita memperoleh disposisi yang tepat untuk menerima rahmat-rahmat pertobatan dan penyembuhan yang mengalir dari Luka-Luka-Nya dalam hidup ini, dan kedua, agar [Luka-Luka Suci] menjadi janji kasih di saat Penghakiman kita setelah kematian.

Devosi kepada Lima Luka Suci Kristus selama Pandemi COVID-19

  1. Dengan penutupan gereja selama pandemi COVID-19, banyak di antara kita telah kehilangan sangtuari kita, tempat perlindungan kita, dari budaya kematian dan dosa yang mengelilingi kita dalam masyarakat sekuler. Namun, seperti nenek moyang kita dalam iman, kita dapat mencari perlindungan dalam Luka-Luka Kristus. Ada beragam doa devosi tradisional untuk masing-masing Lima Luka Suci Kristus yang akan membuat anda masuk lebih dalam ke tempat perlindungan kerahiman ini, seperti doa St. Mechtilde kepada Lima Luka dan doa St. Alfonsus Ligouri, Kaplet Kecil Lima Luka Yesus yang Tersalib.
  2. Penutupan gereja dan ketiadaan sakramen-sakramen karena COVID-19 telah menguatkan kesadaran kita akan krisis yang meningkat di dalam Gereja. Banyak orang merasa terpanggil untuk melakukan tindakan silih atas dosa yang diarahkan kepada Tuhan kita oleh kesesatan, sakrilegi, dan dosa-dosa yang tersebar di luar Gereja. Devosi kepada Lima Luka Suci Kristus adalah cara unggul dalam menggunakan praktik penyilihan, seperti Rosario Luka-Luka Suci oleh Hamba Allah Marie Martha Chambon, yang disetujui Kongregasi Ajaran Iman tahun 1999:

Pada manik-manik besar doakanlah: Bapa yang Kekal, aku persembahkan kepada-Mu Luka-Luka Tuhan kita Yesus Kristus. Untuk menyembuhkan luka-luka jiwa kami.

Pada manik-manik kecil doakanlah: Ya Yesusku, ampuni dan berbelas kasihlah kepadaku. Melalui jasa-jasa Luka-Luka Suci-Mu.

  1. Hafalkanlah doa Anima Christi (Jiwa Kristus) dalam hati sebagai tanda devosimu kepada Lima Luka Suci Kristus dan kamu akan memiliki doa siap pakai dalam masa krisis atau refleksi.

Kesimpulan

Kita tidak dapat meremehkan kerugian yang melanda jiwa-jiwa yang tidak memiliki akses kepada Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Penutupan gereja dan penangguhan Misa adalah bencana tunggal terbesar yang menghancurkan Gereja dalam seluruh sejarah Kekristenan. Setiap musuh gereja telah berupaya untuk merampas Misa dan penerimaan Sakramen Ekaristi dari orang katolik, karena inilah tujuan utama iblis. Akan tetapi, devosi kepada Darah Mulia dan Lima Luka Suci Kristus adalah benteng kokoh yang melawan serangan iblis karena mereka membuat kita bersentuhan dengan hati Ekaristi Tuhan kita:

“Hati Ekaristi Yesus rindu untuk menarik jiwa-jiwa kepada dirinya. Hati ini kerap kali dihina, diabaikan, dilupakan, dicemooh, dilecehkan, namun ia tetaplah hati yang mengasihi hati kita, hati yang sunyi yang berbicara kepada jiwa-jiwa untuk mengajarkan mereka nilai dari kehidupan tersembunyi dan nilai pemberian diri yang kian murah hati” (Fr Reginald Garrigou-Lagrange, Our Saviour and His Love for Us, p. 267).

Artikel berikut ditulis oleh Diakon Nick Donnelly dan diterbitkan di blog Rorate Caeli, diterjemahkan oleh Cornelius.

Baca juga:

Panduan Katolik untuk Bertahan Hidup selama Pandemi COVID-19 (Bagian Pertama): Doa Tobat Sesal Sempurna dan Komuni Rohani

Panduan Katolik untuk Bertahan Hidup selama Pandemi COVID-19 (Bagian Kedua): Seni Menyambut Ajal dengan Baik dan Doa untuk Kematian yang Bahagia