Kuberikan Segalanya Buat Pacar… Buat Tuhan, yang Penting Hatinya

“Lovers”, lukisan oleh Konstantin Somov, 1920

“Lho, buat Tuhan koq ngasihnya minimalis?” Mungkin begitu yang langsung tersirat di benak anda saat membaca judul di atas. Kenyataannya, bukan sekali dua kali kita menjumpai seloroh “Ah, yang penting hatinya… Gak usah repot-repot, kan Tuhan melihat hati”, saat kita membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan ekspresi iman secara eksternal, mulai dari tata gerak liturgi, kesantunan berbusana, kerudung Misa, hingga hukum-hukum Gereja yang lebih menyeluruh.

Selain “yang penting hati”, ada juga yang mengatakan “yang penting kasih”. Namun, baik “yang penting hati” maupun “yang penting kasih”, keduanya mengandung problema yang sama, yaitu bahwa seolah-olah apa yang ada di dalam diri kita bersifat stagnan dan tidak akan muncul ke luar melalui gerakan dan perkataan. Seolah-olah hati (batin, jiwa) dan tubuh merupakan dua entitas yang terpisah dan tak saling berkaitan. Seolah-olah, apabila hati kita mengasihi dengan begitu kuat, tubuh bisa tetap tinggal diam dan bermalas-malasan. Seolah-olah masalah hati dan kasih itu gampang dan remeh.

Tetapi kita tahu bahwa sesungguhnya itu tidak benar, bukan? Emosi hati yang kuat, entah itu kasih atau benci, akan mendorong kita melakukan sesuatu, dan sesuatu itu pastinya bukan sesuatu yang minimalis. Kita akan dengan suka hati mengerjakan hal-hal ekstra demi orang yang kita kasihi meskipun ia tidak memintanya atau mengharuskannya. Kapan terakhir kali anda mengatakan “Mari kita kerjakan yang perlu-perlu saja, yang penting beres”? Tentu saat itu anda sedang mengerjakan sesuatu yang anda tidak begitu peduli atau anda rasa tidak begitu penting.

Kasih itu… Tidak Cemen

Mereka yang mengatakan bahwa kasih hanya bisa dirasakan di dalam hati mungkin belum betul-betul menangkap makna sesungguhnya dari kasih. Santo Paulus menggambarkan kasih sejati di dalam surat pertamanya kepada jemaat di Korintus. Tanpa bermaksud merendahkan keindahan dan otoritas Kitab Suci, saya mencoba membahasakan ulang penggambaran dalam surat tersebut, karena kadang kita—termasuk saya—kurang peka terhadap kegagahan, keperkasaan, dan kekuatan kasih yang dahsyat seturut yang tergambar di dalam tulisan Paulus. Di dalam benak kita, kasih menjadi sesuatu yang pasif, yang lemah, yang “cemen”. Padahal, justru kasih adalah panggilan paling heroik yang bisa dilakukan oleh manusia. Ini karena:

1.Kasih ingin memahami yang dikasihi.

Jika ada orang yang naksir anda tetapi ia tidak merasa perlu bersusah payah mengenal diri anda, apakah anda akan merasa dikasihi? Tentunya, jika kita mengasihi seseorang, kita akan dengan senang hati mendengarkan dan memahaminya. “Aturan” ini sesungguhnya sudah terpatri dalam hati manusia sehingga tidak heran apabila di mana-mana menjamur bisnis kafe, restoran, dan taman di mana orang dapat saling duduk dan mendengarkan.

Kasih “bergembira karena kebenaran” (1 Kor 13:6). Kasih kita kepada Allah salah satunya ditunjukkan dengan kesediaan menggapai kebenaran ilahi, yaitu dengan mendengarkan dan memahami kehendak-Nya. Sama seperti kita mungkin tidak menyukai semua hal yang ada pada diri orang yang kita kasihi, kita juga mungkin awalnya tidak menyukai kehendak dan kemauan Allah.

Tetapi “kasih itu sabar… tidak sombong… dan tidak mencari keuntungan sendiri” (1 Kor 13:4) Kasih sejati akan mengalahkan ego: jika jelas bahwa Allah ingin kita memberi makan orang yang lapar, maka kita akan melakukannya demi kasih; jika jelas bahwa Allah menghendaki persatuan dalam Gereja-Nya, maka kita akan menjadi Katolik yang baik demi kasih; jika jelas bahwa Allah menuntut tata cara yang benar dalam menyembah-Nya, maka kita akan rela tunduk pada aturan liturgi, juga demi kasih.

2. Kasih ingin memberi lebih.

Bayangkan jika anda menjadi seorang guru. Suatu hari anda menerima pekerjaan murid yang terlihat dikerjakan serampangan dan seadanya. Anda mungkin tak bisa menghindari sekelebat pemikiran, “Wah anak ini gak niat!” meskipun mungkin tidak menghukumnya karena murid tersebut telah menuntaskan semua syarat minimum yang ditentukan. Namun ketika anda menerima hasil pekerjaan murid yang baik, rapi, indah, diriset dengan teliti, dan melampaui syarat minimum, bukankah anda akan merasa tersentuh dengan dedikasi yang ditunjukkan oleh murid tersebut? Anda akan melihat bahwa murid itu sungguh mencintai pelajarannya, dan ia menyelesaikannya dengan sepenuh hati. Anda juga tidak akan segan-segan memberinya nilai yang lebih tinggi oleh karena kasih dan dedikasinya.

“Kasih tidak pernah berkesudahan” (1 Kor 13:8), dan dalam bahasa manusia yang terikat ruang dan waktu, hal ini dinyatakan melalui ungkapan kasih yang selalu ingin lebih banyak, lebih lama, lebih indah, lebih sempurna—dengan kata lain, lebih mendekati sifat-sifat ilahi yang kekal. Ini karena “kasih selalu memandang ke keabadian” (Paus Benediktus XVI, Deus Caritas Est).

Mungkin tidak keliru juga pandangan yang melihat bahwa arsitektur gereja sepanjang zaman melambangkan iman manusia pada umumnya pada zaman tersebut. Gereja tua yang façade maupun interiornya dibangun serta dihias dengan indah menunjukkan betapa manusianya memiliki dedikasi yang tinggi, keimanan yang mendalam, dan keseriusan religius yang tidak main-main. Fakta bahwa arus modernisasi yang menyurutkan iman dan kasih kepada Allah ternyata dibarengi dengan desain gedung gereja yang semakin minimalis dan abstrak, mungkin memang bukan kebetulan.

3. Kasih menuntut tanda.

Kasih dan kebenaran [seharusnya] tidak bertentangan, dan karena itulah kasih menuntut tanda yang kelihatan. Sebuah tanda menunjukkan kepada dunia luar apa yang anda pikirkan dan rasakan di dalam hati, ia memperlihatkan gerak hati yang tersembunyi. Tidak ada tempat untuk kebohongan dan tipu-tipu di sini, dan kepalsuan akan dihukum berat.

Tanda eksternal juga menuntut kesiapan diri secara keseluruhan, bukan “yang penting hati”. Sebuah tanda berarti peneguhan dengan segala risikonya. Kasih berani menunjukkan tanda sebab kasih “percaya akan segala sesuatu” (1 Kor 13:7). Orang yang mengaku mengasihi namun malas atau ragu menunjukkannya, adalah pengecut atau egois, atau mungkin juga gombal.

Gereja memiliki segudang harta karun doa-doa, devosi, sakramen, sakramentali, dan spiritualitas. Biarawan dan biarawati mengenakan habit. Pasangan yang menikah saling menyematkan cincin kawin. Imam mengenakan kerah klerus (Roman collar). Wanita-wanita mengenakan kerudung Misa. Kita berlutut saat konsekrasi dan menerima Komuni. Kesemuanya ini adalah tanda eksternal dari kasih yang internal di dalam hati, sarana-sarana yang membantu kita terlibat dalam hubungan kasih ilahi dengan lebih mendalam. Mengatakan “yang penting hati”, menyiratkan bahwa sarana-sarana tersebut berlebihan dan tidak penting, berarti belum memahami sifat kasih.

Satu kesimpulan utama yang kita dapatkan, adalah bahwa kasih rela berkorban. Mendengarkan, memahami, bermurah hati, bersabar, berkomitmen, bertanggung jawab… kesemuanya ini memerlukan kerelaan berkorban, yang timbul dari kasih yang menggelora dalam hati.

Kasih Manusiawi, Cerminan dari Kasih Ilahi

Realita kodrati merupakan pratanda dari realita ilahi. Demikian pula, kasih manusiawi merupakan cerminan—yang buram—dari kasih ilahi. Tidak seharusnya kita menganggap keduanya bertolak belakang dan tidak ada urusannya satu sama lain. Orang tua rela berjaga semalaman demi bayi kecil mereka. Anak yang sedang jauh merantau rela pulang ketika ayah atau ibunya sedang sakit. Sang pangeran bersusah payah membunuh naga dan menerobos semak berduri demi sang putri yang dicintainya. Seorang peneliti menghabiskan waktu dan tenaga demi mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan yang dicintainya. Pada puncaknya, bentuk-bentuk ekspresi kasih manusiawi ini menggambarkan bagaimana seharusnya kehidupan religius kita.

Tuhan rela mengenakan kedagingan manusia yang lemah dan meninggal dengan tidak hormat demi umat manusia yang begitu dikasihi-Nya. Para kudus dan martir rela diolok-olok dan mati mengenaskan demi cinta yang membara kepada Kristus. Apa jadinya bila mereka berprinsip “yang penting hati”? Tentu tidak akan ada penebusan dan keselamatan, dan manusia akan selamanya terpenjara dalam kegelapan dosa dan ketidaktahuan akan Allah. Saya mungkin akan tetap mengurbankan bayi-bayi di altar dewa-dewi, dan anda mungkin akan senantiasa menganggap pohon besar di depan rumahlah yang menyebabkan anda sakit-sakitan.

Yang Penting Hati… Hati yang Bagaimana?

Lantas bagaimana dengan ayat Kitab Suci “Tuhan melihat hati”? Ayat tersebut terdapat dalam 1 Samuel 16:7, dan disuarakan juga dalam Yeremia 17:10. Agar kita jangan menafsirkan ayat di luar konteks, berikut perikop yang lebih lengkap dari kedua ayat tersebut:

Sewaktu mereka datang, Samuel menatap Eliab putra sulung Isai dan berpikir, “Ini pasti yang diurapi Tuhan.” Tetapi Tuhan berkata kepada Samuel, “Janganlah pandang paras atau perawakannya yang tinggi sebab Aku menolaknya. Tuhan tidak memandang berdasarkan pandangan manusia; manusia memandang dengan mata; tetapi Tuhan menilai hati.”

—1 Samuel 16:6-7

 

Beginilah sabda Tuhan, “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang menggantungkan kehidupannya pada insan, sedang hatinya berpaling dari Tuhan! Ia seperti kelompok semak duri di tanah yang kering dan di padang gurun, di tanah garam di mana tak ada orang yang hidup atau menemukan kebahagiaan. Berbahagialah orang yang percaya kepada Tuhan dan yang berharap pada-Nya! Dia adalah seperti sebatang pohon yang ditanam dekat air, yang akar-akarnya tertuju ke sungai. Ia tidak takut akan panas terik, daun-daunnya selalu hijau; tahun yang kering tidak akan menyusahkan dan dia selalu berbuah. Yang paling licik adalah hati. Siapakah yang dapat memahami apa yang ada di dalam hati manusia? Aku, Tuhan, menduga hati dan meneliti budi. Aku memberikan balasan kepada setiap orang setimpal dengan perilakunya dan hasil perbuatannya…”

—Yeremia 17:5-10

 

Perikop pertama adalah bagian dari kisah Nabi Samuel yang sedang mencari orang yang pantas untuk diurapi sebagai raja Israel. Samuel, secara manusiawi, tertarik dengan pemuda-pemuda dewasa yang gagah, namun ternyata raja pilihan Allah adalah Daud, si gembala yang masih muda. Sementara itu, perikop kedua berbicara tentang peringatan agar manusia senantiasa bergantung pada Allah, bukan pada dirinya sendiri atau sesama manusia.

Tidak satupun dari kedua perikop tersebut mempertentangkan hati dengan perbuatan, atau kasih dengan ungkapan kasih. Malah, perikop kedua justru memperingatkan agar manusia jangan terlalu mempercayai hati dan pemikirannya sendiri. Di situ dikatakan bahwa “yang paling licik adalah hati”. Dosa Asal telah merusak hati manusia, membuatnya menjadi lebih korup dan lebih condong ke arah yang jahat.

“Yang penting hati”, ini bisa jadi betul, asalkan hati tersebut sudah dimurnikan, dengan Ekaristi, Sakramen Tobat, dan upaya-upaya silih sepanjang hayat. Hati yang murni dan penuh kasih niscaya tidak akan tinggal diam. Karena manusia memiliki tubuh dan jiwa, serta hati dan kehendak, maka jiwa akan menggerakkan tubuh, dan hati akan menggerakkan kehendak. Kasih yang tidak menggerakkan adalah kasih yang palsu, dan hati yang tidak menggerakkan adalah hati yang suam-suam kuku. Dan apa jadinya hati yang suam-suam kuku? Allah akan memuntahkan dia dari mulut-Nya (bdk. Wahyu 3:16).

5 komentar

  1. octavia · · Balas

    apa yang di jelaskan tadi memang benar. tapi bagaimana dengan kasih sejati yang ujung – ujungnya akan tersakiti, terluka bahkan membunuh dirinya sendiri karena ego masing – masing?

    Suka

    1. Shalom Octavia,

      Kalau ego yang dijadikan dasar, apakah masih bisa disebut kasih? Saya kira itu bukan kasih. Tetapi, kasih dan penderitaan, rasa sakit, memang tidak bisa dipisahkan, sama seperti Yesus yang tidak bisa dipisahkan dari salib.

      Suka

  2. Reblogged this on deedook yang tawar and commented:
    Akrobat Iman….hmmmm beginilah jadinya

    Suka

  3. ketikatamarden · · Balas

    Bagaimana dg orang yg bergantung sekali dg orang lain sampai2 tidak mau lg survive utk hidup?

    Suka

    1. Maksudnya bagaimana ya? Bisa diperjelas? Karena kalau tidak tahu konteksnya, bisa saja pertanyaan anda tidak relevan dengan artikel yang diposting di atas.

      Suka

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.