Catholic Predestination

oleh Ludwig Ott

Pengenalan

Gereja Katholik, lewat St. Augustine (seperti Grace and Free Will, 1,1:sermon 169,11,13), menerima predestinasi sebagai pemilihan orang yang akan masuk ke surga, namun juga mengakui kehendak bebas manusia, sehingga membuat posisi gereja berbeda dari penganut Calvin. Predestinasi ke neraka, dalam Katholik selalu melibatkan kehendak bebas manusia, dan dosa yang sudah diramalkan sebelumnya, sehingga seorang manusia benar benar bertanggungjawab terhadap penghukuman terhadap dirinya, bukan Tuhan (double predestinasi ditolak).

Tuhan adalah maha Kuasa, dalam pandangan kita, sama dalam setiap aspek seperti Protestan (khususnya Calvinisme) seperti yang akan ditunjukkan dibawah ini. Semua yang menjadi kebingungan adalah detail dari karunia Tuhan (Grace) dan pengertian tentang kehendak bebas (Free Will), yang adalah salah satu dari pertanyaan2 yang sulit dan merupakan misteri dalam sejarah theology Kristen dan philosophy Ketuhanan. Tentu saja, kehendak bebas tetap ada dalam theology Lutheran, Anglican, Methodis, hampir semua aliran kharismatik, non-denominational dan Baptist, dll.

Gereja Katholik menerima predestinasi sebagai dogma de fide (dogma Theology yang memiliki tingkatan paling tinggi dalam hal kekuatan mengikat dan ke-tidak-mungkin-an salah), dan pada saat yang bersamaan mengakui kehendak bebas dan kemungkinan kejatuhan iman. Materi berikut ini diambil dari buku yang ditulis oleh seorang Theolog Katholik, Ludwig Ott’s, Fundamentals of Catholic Dogma (Rockford, IL: TAN Books, 1974 {orig. 1952}, pp.242-45) dan akan sangat berguna bagi orang-orang protestants yang ingin mengerti kepercayaan Katholik tentang misteri yang terbesar, paling controversial, compleks, pertanyaan theology yang sangat abtract :

1) TUHAN, MELALUI KEPUTUSAN-NYA SENDIRI, TELAH MEM-PREDETERMINASI-KAN ORANG-ORANG TERTENTU MENERIMA KEKUDUSAN YANG ABADI (De fide)

[De fide = “Oleh Iman” – dogma-dogma yang secara mutlak harus diimani oleh semua orang Katholik]

Doktrin ini merupakan ajaran Gereja yang normal dan umum dan merupakan kebenaran wahyu. Definisi doktrinal dari Konsili Trent menerima ini (presuppose = kebenaran yang diterima tanpa memerlukan argumentasi lebih lanjut) . . . Kebenaran dari Predestinasi ditunjukkan dengan jelas di Roma 8:29 et seq: . . .cf. Mat 25:34, Yoh 10:26 et seq., Kis 13:48, Ef 1:4 et seq. . . . Predestinasi adalah bagian dari Rencana Besar Allah.

2) DASAR PREDESTINASI

a) Kesulitan

Kesulitan terbesar . . . ada pada pertanyaan apakah keputusan Allah tentang Predestinasi telah ditetapkan dengan tidak memperdulikan nilai2 (=kualitas, terjemahan dari merit) yang dimiliki oleh orang tersebut (pastor ante praevisa merita). Hanya Predestinasi karunia yang tidak komplit yang tidak tergantung terhadap semua nilai yang dimiliki seseorang (ante praevisa merita), karena karunia yang utama tidak mungkin dimiliki manusia secara intrinsik. Dengan cara yang sama, Predestinasi yang komplit terhadap karunia dan kemegahan secara bersama-sama tidak tergantung dari semua nilai yang dimiliki seseorang, karena karunia yang utama tidak mungkin dimiliki manusia secara intrinsik, dan rahmat yang menyertainya, beserta semua nilai yang dihasilkan oleh karunia-karunia ini dan hadiahnya, tergantung seperti ikatan mata rantai, pada karunia yang utama tersebut . . .

b) Usaha untuk mencari solusi

Para Thomist, yaitu kaum Augustinian, mayoritas kaum Scotist dan juga beberapa pendahulu Molinist (Suarez, St. Bellarmine) mengajarkan Predestinasi yang mutlak (absolute) (ad gloriam tantum), yaitu ante praevisa merita. Menurut mereka, Tuhan dalam keabadianNya dengan bebas menentukan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai karunia seseorang, untuk memanggil beberapa orang untuk dikuduskan (beatification) dan karenanya memberikan kepada mereka karunia-karunia untuk melaksanakan perintah Tuhan (ordo intentionis) yang pasti akan terjadi. Pertama tama Tuhan memberikan karunia yang effektif bagi orang-orang ini dan akhirnya kebahagiaan kekal sebagai hadiah bagi nilai-nilai yang keluar dari kerelaan mereka mengikuti kehendak Allah (ordo executionis). Ordo intentionis dan ordo executionis memiliki hubungan yang berbalikan satu sama lain (kemegahan – karunia; karunia – kemegahan)

Kebanyakan kaum Molinist, dan juga St. Francis de Sales (+1622), mengajarkan conditioned Predestinasi (ad gloriam tantum), yaitu, post and propter praevisa merita. Pendapat mereka, Tuhan dengan scientia media-Nya, dapat mengetahui sebelum terjadi (=meramalkan = melihat ke masa depan) bagaimana seseorang akan bereaksi secara bebas kepada macam-macam karunia. Dalam pengetahuan ini Dia memilih, dengan bebas, karunia-karunia yang akan diberikannya secara tetap dan pasti. Lalu dengan scientia visionis-Nya, Dia tau dengan tidak mungkin salah, apa yang akan dilakukan oleh tiap-tiap manusia terhadap karunia yang diberikan padanya. Kemudian Dia memilih untuk masuk ke dalam kebahagiaan kekal, orang-orang yang akan mengembangkan nilai-nilai diri sesuai dengan karunia yang diberikan, dan Dia menentukan hukuman neraka abadi bagi mereka, yang akan merusak nilai-nilai diri, dengan menolak karunia yang diberikan. Ordo intentionis dan ordo executionis berjalan bersama-sama (karunia – kemegahan; karunia – kemegahan).

Penjelasan dari kedua pandangan ini oleh Gereja diperbolehkan. Bukti-bukti alkitabiah juga tidak cukup kuat untuk mendukung salah satu pihak. Para Thomist mengambil dasar dari semua pasal di surat Roma, dimana factor Tuhan dalam penebusan ditekankan dengan kuat (Roma 8:29; 9:11-13, 9:20 et seq.) . . . Para Molinist mengambil dasar dari ayat-ayat yang menunjukkan ke-universal-an dari keinginan Tuhan untuk menyelamatkan, terutama di 1 Tim 2:4, juga pada kalimat yang akan diucapkan oleh Hakim Dunia (Mat 25:34-36), dimana pekerjaan pertobatan (the works of mercy) menjadi dasar pertimbangan untuk diterima dalam Kerajaan Surga. Tapi apakah ini juga adalah dasar untuk ‘persiapan’ bagi Kerajaan, yaitu, sebagai penetapan predestinasi, tidak bisa secara jelas dibuktikan oleh mereka . . .

Meskipun tradisi pra-Agustinian lebih condong pada penjelasan Molinist, St. Augustine, paling tidak dalam surat-suratnya yang kemudian, lebih condong pada penjelasan Thomist. Pandangan para Thomist menekankan kausalitas universal Allah sementara pandangan yang lain menekankan keinginan universal penyelamatan Allah, kebebasan manusia dan keinginan untuk masuk dalam karya penebusanNya. Kesulitan yang ada dalam kedua pandangan ini membuktikan bahwa predestination, bahkan untuk alasan yang diterangi oleh Iman, adalah misteri yang tidak dapat dimengerti (Roma 11:33 ff.).

3) SIFAT-SIFAT DARI PREDESTINASI

a) Tidak dapat disangkal (Immutability)

Keputusan predestinasi, sebagai akibat dari pengetahuan dan keinginan Tuhan, adalah sama tingkat kepastiannya dengan Esensi Tuhan itu sendiri. Jumlah orang yang terdaftar dalam Buku Hidup (Filipi 4:3, Wah 17:8; cf. Luk 10:20) adalah secara formal dan materi tetap, yaitu, Tuhan tahu dan telah menentukan sebelumnya dengan kepastian yang tidak mungkin meleset, berapa dan orang yang mana yang akan diselamatkan . . .

b) Ketidak pastian

Konsili Trent memutuskan berbeda dengan Calvin, bahwa kepastian terhadap predestinasi seseorang hanya dapat diperoleh lewat wahyu khusus . . . Kitab Suci mengharuskan manusia untuk menjalankan keselamatannya dalam ketakutan dan kegentaran (Fil 2:12). Ia yang membayangkan bahwa ia akan teguh berdiri harus berhati hati kalau karena ia bisa jatuh (1 Kor 10:12). Namun dibalik ketidak-pastian ini, ada tanda-tanda predeterminasi yang besar dari predestinasi seseorang, contohnya, nilai-nilai dalam Eight Beatitudes yang secara konsisten dijalankan, sering menerima Komuni Suci, mengasihi tetangga secara aktif, cinta kepada Kristus dan Gereja . . .

[Untuk bukti bukti Alkitabiah melawan keyakinan yang mutlak akan diselamatkan saya menyarankan ayat-ayat ini: 1 Kor 9:27, 10:12, Gal 5:1,4, Fil 3:11-14, 1 Tim 4:1, 5:15, Ibr 3:12-14, 6:4-6, 2 Pet 2:15,20-21. Ini yang saya rasa paling jelas dan tegas, tapi masih banyak lagi: seperti: 1 Sam 11:6, 18:11-12, Ezek 18:24, 33:12-13,18, Gal 4:9, Kol 1:23, Ibr 6:11-12, 10:23,26,29,36,39, 12:15, Wah 2:4-5.]

[Banyak evangelis Protestant mengklaim ada “keyakinan” yang mutlak, tapi setelah semuanya dilakukan dan dijabarkan, baik secara alkitabiah maupun secara epistemology, mereka tetap tidak dapat memperoleh kepastian tentang ini, dan tidak bisa lebih “yakin” daripada seorang Catholic atau Orthodox yang religius. Klaim-klaim demikian ini tidak terbukti dan tidak dapat dibuktikan. Dengan kata lain, “keyakinan” orang Protestant mengikut sertakan “argument” lingkaran setan berikut: untuk memperoleh kepastian diselamatkan kamu harus percaya bahwa kamu memiliki keselamatan. Ini disebut sebagai “iman yang fiducial”, dan betul betul subyektif, dalam semua aspek sama seperti ajaran Mormon “burning in the bosom”. Martin Luther sendiri mengillustrasikan in-koheren-si dari pendapat ini:

Kita harus berjuang setiap hari untuk memperoleh kepastian yang lebih besar lagi . . . Karenanya semua orang harus membiasakan diri dengan sungguh-sungguh untuk memaksa dirinya masuk dalam kondisi ber-rahmat . . . Kalau ia merasa ragu, maka ia harus mengasah iman; ia harus mengalahkan keraguannya dan memperoleh kepastian . . . Masalah pembenaran adalah sulit dan rapuh, bukan berarti di dalam konsep itu sendiri, karena di dalamnya itu sudah sangat jelas, tapi dalam pandangan kita; yang mana aku juga sering mengalaminya.

{Dalam Hartmann Grisar, Luther, London: 1917, v.4, pp.437-443} ]

4) KONSEP DAN REALITA PENCOBAAN

Melalui Pencobaan, dapat dimengerti bahwa Ketetapan Allah untuk mengeluarkan mahluk-mahluk rasional tertentu dari kebahagiaan abadi. Ketika Tuhan, dengan karunia-Nya, secara positif membantu memberikan nilai-nilai supernatural, yang mengarah pada pengudusan (beatification), Ia juga mengijinkan dosa, yang mengarah pada kesengsaraan kekal.

Tentang isi ketetapan Pencobaan, ada pembedaan antara Pencobaan yang positif dan yang negative, tergantung dari ketetapan Pencobaan Tuhan, untuk menempatkan manusia sebagai obyek yang dikutuk dengan penghukuman kekal neraka, atau pengecualian dari Pencerahan Kudus (Beatific Vision). Tentang alasan ketetapan Pencobaan, ada pembedaan antara Pencobaan bersyarat (conditioned) dan Pencobaan tanpa syarat/mutlak (unconditioned/absolute), yaitu sejauh ketetapan Pencobaan Tuhan tergantung atau terpisah dari pengelihatan masa depan akan kemerosotan nilai-nilai seseorang.

TUHAN, MELALUI KEPUTUSAN-NYA SENDIRI, TELAH MEM-PREDETESTINASI-KAN ORANG-ORANG TERTENTU, DENGAN MELIHAT DOSA-DOSA YANG DILAKUKAN ORANG-ORANG ITU SENDIRI, KEPADA PENOLAKAN YANG ABADI (De fide)

Bentuk nyata dari Pencobaan itu sendiri tidak didefinisikan secara resmi, tapi pencobaan adalah bentuk ajaran yang umum dalam Gereja.

5) PENCOBAAN POSITIF

Pendapat Predestinasi yang tidak lazim dalam berbagai macam format (pendeta Gallic Selatan Lucidus di abad ke 5; pendeta Gottschalk di abad 9, menurut laporan dari orang-orang yang menentang mereka, yang mana, meskipun demikian, tidak menemukan kepastiannya dalam tulisan-tulisannya yang baru ditemukan belakangan; Wycliffe, Hus, dan terutama Calvin), mengajarkan positive predetermination terhadap dosa, dan predestinasi tak bersyarat (unconditional) untuk penghukuman abadi di neraka, yaitu, tanpa mempertimbangkan kemerosotan nilai-nilai seseorang. Pendapat ini ditolak sebagai doktrin yang salah oleh Sinode Orange, Quiercy & Valence dan oleh Konsili Trent. Pencobaan positive tanpa syarat mengarah pada penolakan akan keinginan Tuhan agar manusia secara universal memperoleh keselamatan, dan juga terhadap Pengampunan Dosa, dan berkontradiksi dengan Keadilan dan Kesucian Tuhan dan kebebasan manusia.

Sesuai dengan ajaran Gereja, Pencobaan positif bersyarat (conditioned) memang ada, yaitu, terjadi dengan mempertimbangkan pengelihatan masa depan akan kemerosotan nilai seseorang (post et propter praevisa demerita). Kondisi lingkungan yang memiliki Pencobaan Positif ini dibutuhkan agar ketetapan Allah akan keselamatan dapat diterapkan secara umum. Ini berarti menolak pendapat bahwa Tuhan memang ingin membuang orang-orang tertentu. (cf. 1 Tim 2:4, Ezek 33:11, 2 Pet 3:9) . . .

6) PENCOBAAN NEGATIF

Dalam perenungan tentang Pencobaan, pandangan para Thomist mengarah pada Pencobaan Negative yang tidak mutlak. Ini diyakini oleh sebagian besar Thomist sebagai ketidak-terpilihan kedalam kebahagiaan abadi (non-electio), bersamaan dengan keputusan Allah untuk mengijinkan beberapa mahluk rasio untuk jatuh kedalam dosa, dan kemudian karena kesalahan mereka sendiri kehilangan keselamatan kekal. Kontras dengan konsep Pencobaan Positif Mutlak dari para Predestinarian, para Thomist percaya penuh bahwa Allah telah memutuskan untuk memberikan Keselamatan dan Pengampunan kepada semua orang, (Universality of the Divine Resolve of Salvation and Redemption), cukup karunia bagi orang-orang yang mengalami cobaan, dan juga telah memberikan kebebasan bagi manusia. Sulit untuk mencari hubungan intrinsic antara ketidak-terpilihan tanpa syarat (unconditioned non-election) dengan Ketetapan Keselamatan yang diberikan kepada semua orang. Dalam prakteknya, Pencobaan Negatif tanpa syarat dari para Thomist memberikan hasil yang sama seperti Pencobaan Positif tanpa syarat dari para Predestinarian, karena tidak ada konsidi final lain diluar Surga dan Neraka. Sama seperti Ketetapan Predestinasi Allah, Ketetapan Pencobaan Allah juga tidak dapat disangkal, tapi, tanpa wahyu khusus, keberadaannya tidak mungkin dikenali manusia.

Diedit dan diupload oleh Dave Armstrong in 1996.

sumber: http://socrates58.blogspot.com/2006/11/catholic-predestination-ludwig-ott.html

diterjemahkan oleh: -O-

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.