Moralitas adalah Pembentukan Kebiasan : Keutamaan-keutamaan Pokok

Apa itu keutamaan pokok? Apa peran mereka dalam kehidupan Kristiani?

Respon : Keutamaan adalah suatu kecenderungan yang tetap dan teguh untuk melakukan yang baik (KGK 1803). Ada dua jenis keutamaan : keutamaan teologis dan manusiawi (atau moral). Keutamaan teologis adalah iman, harapan, dan kasih yang berhubungan secara langsung dengan Allah, dan memampukan kita untuk menghidupi rahmat adikodrati sebagai anak-anak Allah (KGK 1812-1813)

Objek keutamaan-keutamaan manusiawi bukan Allah, tapi aktivitas manusia yang menuntun kita pada Allah. Keutamaan tersebut menuntut upaya manusia, tapi dibantu dan mencapai kesempurnaannya melalui rahmat. Keutamaan-keutamaan ini membantu kita menuntun pada kehidupan moral yang baik dengan sukacita dan ketentraman (bdk KGK 1804)

Empat dari keutamaan moral atau manusiawi dikenal sebagai keutamaan pokok (cardinal). “Cardinal” berasal dari kata lain cardo, yang artinya “pilar”. Keutamaan pokok, dianggap sebagai “keutamaan-keutamaan pilar” dan merupakan dasar dari semua keutamaan manusiawi lainnya. Keempat keutamaan tersebut adalah kebijaksanaan (prudence, atau practical wisdom), keadilan (justice), keberanian (fortitude) dan pengendalian diri (temperance)

Kitab Suci sering menjadi bukti dari nilai keutamaan ini dalam menghidupi kehidupan yang takut akan Alah, meskipun terkadang [keutamaan ini disebutkan] dengan nama berbeda. Contohnya, kebijaksaan 8:7

Dan kalau seseorang mengasihi kebenaran, maka keutamaan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan untuk menahan diri [temperance] dan berhati-hati [prudence], keadilan [justice] dan keberanian [fortitude]; dari semuanya itu tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang lebih berguna bagi manusia.

Katekismus mendefinisikan keutamaan pokok sebagai “kecenderungan yang teguh dari akal budi yang mengarahkan tindakan kita,mengatur hawa nafsu kita, dan membimbing perbuatan kita sesuati dengan akal budi dan iman (1834). Keutamaan ini membantu kita membuat pilihan moral yang baik dan dengan demikian bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Kristiani. ”

Keutamaan  moral – seperti semua kebiasaan – diperoleh dan tumbuh melalui pendidikan, tindakan yang hati-hati, dan usaha yang tabah (KGK, 1839). Mereka bisa lenyap atau hilang oleh pengulangan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan keutamaan ini. Tindakan-tindakan ini tidak hanya menghancurkan keutamaan tapi secara khas menggantikannya dengan kefasikan (vice) yang berlawanan dengannya.

Kita perlu menyadari karena dosa asal, kodrat manusia kita terluka dan cenderung pada dosa dan kefasikan. Kehidupan baru kita dalam Kristus memberi kita rahmat untuk bertekun dalam kehidupan yang penuh keutamaan. Hasilnya, kita “harus selalu meminta rahmat terang dan kekuatan, sering mencari bantuan melalui sakramen, bekerja sama dengan Roh Kudus, dan mengikuti panggilan-Nya untuk mencintai apa yang baik dan menjauhkan diri dari yang jahat” (KGK, 1811). Kita perlu bersikap rendah hati untuk mengenali kecenderungan keberdosaan kita dan memelihara keutamaan yang berkaitan dengannya. Dengan cara ini kita membangun karakter yang pantas untuk panggilan kita.

Selagi kita bertumbuh dalam keutamaan, menjadi lebih mudah bagi kita untuk mengenali kebenaran dan memilih yang baik, dan karenanya kita sungguh mengalami kebebasan sebagai anak-anak Allah . (cf. John. 8:32; Gal. 5:1). Ketika kita memilih kejahatan kita menyalahgunakan kebebasan kita dan jatuh kepada perbudakan dosa (KGK 1733). St. Paulus berkata :

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut keutamaan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. (Fil 4:8)

Kebijaksanaan

Kebijaksanaan adalah keutamaan pokok yang “mengatur akal budi praktis dalam setiap situasi, untuk memilih kebaikan yang benar dan sarana yang tepat untuk mencapainya” (KGK, 1835). Kebijaksanaan (practical wisdom) menyanggupkan kita untuk memilih sarana yang baik untuk mencapai tujuan akhir yang baik. Ia membimbing keputusan praktis kita secara individu, dalam situasi konkret dan menyediakan pelaksanaan efektif ketika keputusan dicapai. Dengan bantuan kebijaksanaan, kita belajar dari pengalaman kita dan dengan tepat menerapkan prinsip-prinsip moral kepada situasi kehidupan nyata (KGK 1806)

Tiga tahap kebijaksanaan secara tepat adalah pertimbangan, pembedaan dan keputusan. Perhatikan bahwa keraguan itu muncul pada saat pertimbangan : Seseorang bisa dan harus mempertimbangkan semua fakta dan prinsip moral yang berhubungan dengan situasi dan terbuka kepada nasehat manusiawi dan ilahi. Bagaimanapun, keputusan yang telah dibuat harus segera dilaksanakan. Contohnya, jika seseorang dalam otoritasnya meminta kita melakukan sesuatu yang tidak pantas, kita harus mempertimbangkan apakah bijak untuk patuh kepadanya. Namun, secepatnya kita membedakan bahwa permintaan itu merupakan sebuah penerapan wewenang yang sah, keputusan kita untuk taat harus segera dilakukan.

Kesalahan dalam pertimbangan bisa masuk melalui kekurangan dalam kebijaksanaan atau “kebijaksanaan palsu”. Kekurangan ini termasuk kelalaian, ketergesaan, kecerobohan, plin-plan, dan tiadanya konsistensi dalam pelaksanaan. Kebijaksanaan palsu terdiri dari dua bentuk. Pertama adalah menyerah pada  “kebijaksanaan daging”, karenanya keputusan dibuat semata-mata untuk melayani kebutuhan tubuh, hal ini dikritik St. Paulus karena tidak menyenangkan Allah dan menuntun manusia kepada kematian (cf. Roma 8: 6-8). Bentuk lainnya adalah apa yang disebut St. Thomas sebagai astutia, yang sering diterjemahkan sebagai “kelicikan”. Astutia berkaitan dengan “taktik-taktik,” bukannya hidup dalam terang. Kebijaksanaan sejati tidak hanya berkaitan dengan tujuan akhir yang baik, tapi juga sarana yang baik untuk mencapai akhir itu. Sebaliknya, astutia adalah akal bulus seseorang yang lihai dalam taktik untuk menggunakan sarana apa pun demi mencapai tujuan yang diinginkan.

Kebijaksanaan sering disebut yang pertama dari keutamaan pokok. Sebagai “pengemudi keutamaan-keutamaan”, ia membimbing keutamaan lainnya dan membimbing pertimbangan suara hati (KGK 1806). Memang, tidak mungkin kita bisa memiliki suara hati yang terbentuk dengan baik tanpa keutamaan kebijaksanaan (KGK 1780, 1788)

Kitab Tobit menasehati kita :

Mintalah setiap nasehat dari setiap orang yang arif dan jangan kauhina nasehat yang bermanfaat. Pujilah Tuhan Allah setiap waktu dan mintalah kepadaNya, supaya segala jalan hidupmu menjadi lurus dan supaya segala usaha serta rencanamu berhasil baik. Sebab tiada bangsa satupun mempunyai nasehat], melainkan segala nasehat yang baik diberikan oleh Tuhan. Tetapi kalau Tuhan mau maka Ia merendahkan sampai ke lubuk dunia orang mati, sebagaimana yang dikehendakiNya. Dan kini, nak, ingatlah kepada segala petunjukku dan jangan sampai terhapus dari hatimu. (Tob 4 :18-19)

Kutipan ini mendorong kita untuk belajar dan mengambil nasehat dari yang lain dalam kerendahan hati dan kepatuhan yang sejati. Kutipan ini juga mendorong kita untuk mencari bantuan Tuhan. Melalui hadiah nasehat, satu dari hadiah-hadiah Roh Kudus (Bsk Is 11:1-3), kebijaksanaan dimurnikan dan diarahkan pada kebaikan fundamental, Allah sendiri.

Keadilan

“Keadilan terdiri dari kehendak yang teguh dan terus menerus memberikan Allah dan sesama hak-hak mereka” (KGK 1836). Keadilan dalam hubungannya dengan Allah disebut keutamaan religius. Keadilan terhadap sesama mengatur kita untuk menghargai hak orang lain dan untuk membantu perkembangan keharmonisan hubungan manusia yang berakar dalam kebenaran (cf. KGK 1807)

“Hutang” keadilan yang kita berikan kepada orang lain disebut kewajiban. Sebelum menjadi keadilan, orang lain harus memiliki hak yang sepadan dengannya. Aku tidak wajib membayar hutang 10$ kecuali kreditorku memiliki hak untuk menerimanya. Hak-hak bisa muncul dalam keanekaragaman sosial, ekonomi, atau konteks politik. Namun, ada beberapa hak fundamental yang sudah ada sebelum hukum manusia atau transaksi bisnis ada. Hak-hak ini diberikan kepada kita oleh Allah, yang kita miliki karena kita diciptakan dalam gambar dan keserupaan-Nya. Hak-hak ini termasuk hak hidup, hak kebebasan beragama, dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak. Ketika individu atau pemerintah gagal untuk menyadari hak-hak ini, mereka bertindak bertentangan dengan kebenaran mengenai penciptaan, dan mereka bertindak tidak adil.

Mazmur 112 menyebut manusia yang adil “terang dalam kegelapan”. Sebaliknya, ketika kita terjerembab terhadap ketidakadilan, dan menyebut “kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat” (Yesaya 5:20) kita sudah “berada di jalan kehancuran yang paling menakutkan dan kebutaan moral yang paling kelam“ (Paus Yoh Paulus II, Evangelium Vitae, no 25)

Keadilan berbeda dari kasih, tapi mereka tidak bertentangan. Kita bisa dan harus adil dan bersikap kasih dalam berurusan dengan orang lain. Perbedaan tersebut bisa diringkas sebagai berikut : Kasih didasarkan pada persatuan yang ada dengan sesama. Itulah mengapa hubungan manusia yang paling intim – perkawinan – dihadirkan dalam kitab suci sebagai dua orang yang menjadi satu (Mat 19:6), dan Tuhan kita memerintahkan kita untuk mencintai sesama seperti diri kita sendiri (Luk 10:27). Keadilan menyadari bahwa kita mempertahankan individualitas dan persekutuan kita. Keadilan menuntut perbedaan pihak, jika tidak, hutang tidak bisa diberikan kepada yang lain.

Ada tiga bentuk dasar keadilan (KGK 2411). Keadilan komutatif adalah keadilan yang individu berikan satu sama lain. Keadilan distributif menggambarkan relasi keseluruhan kepada bagian-bagiannya. Secara spesifik, keadilan distributif  menggambarkan kewajiban pemerintah terhadap warga negaranya – termasuk perlindungan hak fundamental mereka. Keadilan legal menggambarkan hubungan warga terhadap negara. Contohnya, kewajiban untuk “menyerahkan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar” (Mark 12:17), seperti pembayaran pajak.

Ajaran Sosial Gereja juga termasuk dalam keadilan, yang berada dalam topik umum “keadilan sosial”. Ajaran sosial Gereja telah mengalami perkembangan yang menonjol selama seratus tahun, dimulai dengan ensiklik Rerum Novarum, ditulis oleh Paus Leo XIII, diikuti oleh dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia modern), sampai tiga ensiklik sosial Paus Yohanes Paulus II. Tubuh ajaran ini menyediakan prinsip-prinsip tentang hal-hal sosial dan ekonomi yang melibatkan pengembangan hak fundamental manusia dan kebaikan umum (lihat KGK 2417 dan seterusnya)

Keberanian

Keberanian adalah keutamaan pokok yang memastikan keteguhan kehendak dalam melakukan kendati dihadapkan dengan berbagai kesulitan (KGK 1808). Keutamaan ini memungkinkan kita untuk mempertahankan keseimbangan (ketenangan) dalam menghadapi bahaya. Di satu sisi, kita perlu menghindari sikap pengecut, yang membiarkan diri dikuasai rasa takut. Di sisi lain, kita harus menghindari ketergesaan dan kenekatan, yang melibatkan tindakan menghadapkan diri kita dengan tidak bijak pada pencobaan atau bahaya fisik tertentu.

Keutamaan keberanian memiliki dua wajah : menyerang dan bertahan. Dari keduanya, keberanian harus secara penuh menunjukkan dirinya dalam kesabaran untuk bertahan – dimana tidak ada harapan yang masuk akal untuk mengalahkan kejahatan yang mengancam kita. Seseorang yang tidak sabar tidak mungkin menjadi berani. Namun, kesabaran lebih dari sikap tunduk secara pasig kepada bahaya dan penderitaan. Melainkan, ia merupakan kualitas jiwa yang teguh yang memungkinkan kita mendekat dengan setia kepada kebaikan dan menolak untuk menyerah terhadap ketakutan atau derita.

Akhirnya, keutamaan keberanian menyanggupkan kita menguasai rasa takut terhadap kematian, dan karenanya menghadapi percobaan dan penyiksaan dengan rela dan dengan penuh suka cita (KGK 1808). Bagi umat Kristen, tindakan tertinggi dari keberanian adalah kemartiran.

Kemartiran adalah kesaksian tertinggi yang diberikan terhadap kebenaran iman  : artinya menjadi saksi bahkan sampai mati. Para martir menjadi saksi Kristus yang wafat dan bangkit, kepada-Nya Ia disatukan oleh kasih. Ia menjadi saksi bagi kebenaran iman dan ajaran Kristen. Ia bertahan sampai mati melalui tindakan berani (KGK 2473).

Kerelaan untuk “maju dalam pertempuran” harus dimengerti dengan tepat. Keberanian tidaklah autentik kecuali didasarkan pada kebijaksanaan dan keadilan. Keberanian tidak ada hubungannya dengan pendekatan membabi buta atau “berani mati” mendekati bahaya. Manusia yang sungguh memiliki keutamaan ini tidak menderita  luka atau menjadi martir demi kepentingannya, tapi sebagai sarana mempertahankan atau memperoleh kebaikan yang lebih besar. Injil meringkas paradoks ini :”Ia yang mencintai nyawanya akan membinasakannya, dan ia yang menganggap rendah nyawanya di dunia ini akan memeliharanya demi kehidupan abadi” (Yoh 12:25)

Pengendalian Diri

Katekismus mendefinisikan pengendalian diri sebagai “keutamaan moral yang mengekang ketertarikan terhadap kesenangan dan yang membuat kita menggunakan benda-benda ciptaan secara seimbang. Ia memastikan penguasaan kehendak terhadap kecenderungan dan menjaga keinginan dalam batas-batas yang patut dihormati (KGK 1809). Pengendalian diri membantu kita “menjalani hidup yang bijaksana, adil dan beribadah di dunia ini” (Tit 2:12)

Sementara keberanian adalah kontrol diri dalam lautan bahaya, pengendalian diri adalah kontrol diri dalam badai hasrat. Terlalu sering, pengendalian diri disamakan dengan pendekatan yang sangat puritan terhadap ciptaan dan kenikmatan manusiawi yang sah. Karenanya, ia terbatas pada penghindaran terhadap kesenangan yang berlebihan. Kenyataannya, pengendalian diri adalah pengaturan positif atas kecenderungan tubuh kita demi kebaikan kita dan kebaikan masyarakat. Pengendalian diri memampukan kita menjadi diri kita secara utuh dan tidak menjadi budak makanan, alkohol, seks, judi, kenyamanan, keberhasilan, atau kenikmatan lain yang timbul dari kecanduan atasnya (KGK 2290).Penataan  batin terhadap keinginan fisik menghasilkan apa yang St. Thomas sebut “ketentraman jiwa”, tapi ia membutuhkan kesiapsiagaan, disiplin, dan rahmat karena kodrat manusia kita yang rapuh (q. 141, art. 2)

Cara terpasti untuk berjalan pada garis lurus dalam salju adalah tetap memusatkan mata kita terhadap tujuan kita. Kita bisa tergoda untuk melihat kaki kita dan menaruh kaki yang satu didepan yang lain, tapi akhirnya kita akan melenceng dari jalur beruntung kalau tidak menabrak sebuah pohon!). Ini merujuk pada pentingnya kerendahan hati, yang membantu kita melihat diri kita seperti apa adanya : ciptaan yang segera berdosa dan ditebus. Hal yang lebih mendasar adalah kerendahan hati mengarahkan kita kepada Allah, yang adalah asal dan tujuan kita. Keutamaan ini tidak lebih kurang dari pengendalian diri seperti hubungannya dengan pencarian kita untuk keungulan, yang bagi umat Kristen adalah untuk “memperoleh…kualitas kepenuhan Kristus” (Ef 4:13)

Pohon Keluarga Keutamaan Moral

Semua keutamaan moral berhubungan dengan salah satu dari keutamaan-keutamaan pokok. Ini beberapa contohnya.

Kebijaksanaan—Membuat keputusan yang baik

  • Nasehat yang baik diperoleh dari saran-saran orang lain ketika dihadapkan dengan keputusan-keputusan yang sulit.
  • Common sense/akal sehat adalah kemampuan untuk menilai hal-hal berdasarkan hukum-hukum yang biasa mengenai tingkah laku
  • Pertimbangan yang baik melibatkan perhatian pada pemikiran dari pembuat hukum
  • Keluguan membantu kita melihat kebenaran lebih jelas (2 Kor 11:3)
  • Kepatuhan adalah kemampuan untuk dapat diajari

Keadilan—Memberikan orang lain apa yang menjadi haknya

  • Agama adalah ibadah yang kita berikan kepada Allah
  • Kesalehan adalah kewajiban yang kita berikan kepada orang tua (dan diperluas kepada imam, bapa rohani, dan keluarga kita ), dan kepada negara kita, atau “tanah kelahiran”
  • Sikap tunduk-patuh menunjuk pada sikap hormat yang diberikan kepada orang yang menjadi istimewa karena jabatan atau martabatnya
  • Ketaatan adalah kewajiban yang diberikan kepada orang yang berwenang
  • Kejujuran memastikan bahwa komunikasi kita merefleksikan realitas objektif
  • Syukur adalah kewajiban yang diberikan pada orang yang memberikan keuntungan bagi kita
  • Semangat yang berkobar-kobar mencakup kesiapsediaan membawa orang lain dengan antusias kepada kebaikan atau melindungi mereka dari kejahatan
  • Restitusi (ganti rugi) adalah membuat pemulihan atas kerugian yang telah ditimpakan atas orang lain

Keberanian—Ketekunan dalam memperjuangkan kebaikan

  • Kemuliaan budi secara harafiah berarti “berjiwa besar” dan mendorong kita kepada tindakan keutamaan yang heroik
  • Kebesaran hati menuntun kita melakukan perbuatan besar dengan taruhan pribadi yang besar pula
  • Kesabaran menyanggupkan kita untuk tinggal dalam kedamaian meskipun berada dalam percobaan dan pertentangan
  • Ketekunan membantu kita mengajar tujuan yang baik sampai akhir, dan mencapai kesempurnaannya dalam keutamaan Kristiani, yakni kemartiran.

Pengendalian diri —moderasi (sikap tahu batas) dalam segala hal

  • Pengampunan adalah mengampuni atau mengurangi hukuman pada orang yang berdosa
  • Kelembutan hati adalah kontrol diri dalam menghadapi kesulitan, dan karenanya sanggup untuk menahan kemarahan yang benar atau pada tempatnya
  • Kesederhanaan memungkinkan kita untuk percaya pada diri sendiri tanpa menaruh perhatian berlebihan terhadap diri kita. Ini mencakup pengaturan dalam berpakaian, bahasa, dan perilaku
  • Abstinence atau pantang adalah pengendalian diri dalam konsumsi makanan untuk kesejahteraan rohani kita
  • Kerajinan mengatur hasrat kita untuk mendapatkan ketentraman dan kenyamanan
  • Kemurnian mengendalikan hasrat kita untuk kenikmatan seksual dalam kesesuaian dengan akal budi dan ajaran Kristus (KGK 2337, dst)

Sumber.

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.