Beberapa Mitos tentang Toleransi

Toleransi. Kata ini sering saya dengar, entah itu di media, di sekolah, dari diskusi dengan orang-orang, dst. Apalagi di dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai agama, toleransi sering kali menjadi kata sakti yang diteriakkan. Toleransi selalu diajarkan agar umat beragama dapat hidup berdampingan satu sama lain dalam keadaan damai.

Dalam diskusi yang pernah saya saksikan di dunia maya, juga yang pernah terjadi antara saya dan orang lain, sering kali ketika saya dan teman-teman mengatakan bahwa Gereja Katolik adalah agama yang benar,  bahwa diluar Gereja tidak ada keselamatan, maka kami ini sering dibilang “fanatik”, “tidak toleran”. Dan mereka juga merespon dengan mengatakan “semua agama itu sama benarnya”, “semua agama itu sama, sama-sama membawa kepada Tuhan”, atau “agama itu kelihatannya saja beda, tapi intinya tetep sama, menuju kepada Tuhan”. Kurang lebih seperti itulah kata-kata yang sering saya dengar.

Berdasarkan hal diatas, tampaknya ada beberapa mitos yang menyelimuti maksud dari toleransi. Oleh karena itu, mari kita bahas satu per satu apa yang bukan toleransi.

Mitos 1 : Toleransi = menganggap semua agama itu sama, entah itu sama benarnya atau sama baiknya.

Toleransi tidak berarti bahwa agama lain itu benar. Hanya Gereja katoliklah agama yang benar.  Di dalam agama-agama lain terdapat kebenaran seperti yang terdapat dalam Gereja Katolik, tapi kebenaran tersebut bercampur juga dengan kesalahan.

Orang berkata bahwa agama-agama itu kelihatan berbeda, padahal intinya sama. Saya berkata bahwa agama-agama itu kelihatan sama, padahal terdapat hal-hal esensial yang saling bertentangan satu sama lain.

Pendiri agama Katolik (baca : Gereja Katolik) adalah Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Sedangkan pendiri agama-agama lain tidak lebih adalah manusia, yang memiliki status sebagai guru moral ataupun Nabi, tapi mereka bukan Allah.

Menurut perspektif Gereja Katolik, Allah berinisiatif terlebih dahulu untuk menyelamatkan manusia, dan membawa manusia kepada-Nya. Oleh karena itulah, kita bisa yakin terhadap kebenaran iman kita, karena kebenaran iman kita berasal dari wahyu Allah, yang tidak lain adalah Yesus Kristus. Dan Allah tidak bisa menipu dan ditipu.

Sedangkan ajaran-ajaran dalam agama lain, walaupun memiliki beberapa kesamaan dalam ajaran Gereja, sebenarnya hanyalah permenungan atau buah hasil upaya manusia untuk memahami Allah. Jadi, manusialah yang berusaha mencari Allah, sedangkan dalam perspektif Gereja Katolik, Allah yang berinisiatif mencari manusia.

Mitos 2 : Toleransi itu ditujukan kepada ajaran atau prinsip, bukan kepada orang-orang.

Lalu, kepada siapa seharusnya toleransi itu ditujukan? Berikut ini adalah jawaban yang sangat baik dari Venerable Uskup Agung Fulton J. Sheen :

“Toleransi hanya berlaku pada orang-orang, tidak pernah pada prinsip. Intoleransi hanya berlaku pada prinsip, tidak pernah pada orang-orang. Kita harus toleran kepada orang-orang karena mereka manusia; kita harus intoleran terhadap prinsip-prinsip karena mereka bersifat ilahi. Kita harus toleran terhadap orang yang bersalah, karena ketidaktahuan dapat menyesatkan mereka; tapi kita tidak boleh intoleran terhadap kesalahan, karena Kebenaran bukan buatan kita, tapi milik Allah. Karenanya Gereja dalam sejarahnya… selalu menyambut bidat kembali ke dalam harta karun jiwa-jiwanya, tapi tidak pernah menyambut kesesatan ke dalam harta karun kebijaksanaannya.”

Mitos 3 : Orang yang mengganggap agamanya paling benar = orang yang tidak toleran.

Setiap umat beragama harus meyakini bahwa agamanya lah yang paling benar. Bila tidak, maka apa yang ia imani menjadi sia-sia, dan ia tidak akan punya alasan untuk memeluk dan mengimani ajaran agamanya.

Saya menganggap bahwa agama saya paling benar, dan saya pun tidak mempermasalahkan kalau ada pengikut agama lain yang beranggapan bahwa agamanyalah yang paling benar. Ini tentu merupakan fanatisme yang wajar dari seorang yang memiliki agama. Yang menjadi masalah adalah bila orang yang menganggap agamanya paling benar itu memaksakan kebenaran tersebut kepada orang lain bahkan dengan menggunakan kekerasan.

Saya adalah orang yang dogmatis (= mengikuti dogma yang saya imani, percaya bahwa agama saya paling benar). Namun sering saya mendengar bahwa mereka yang dogmatis (baca : fanatik) adalah orang yang tidak toleran, padahal sebaliknya : orang yang dogmatist adalah orang yang toleran (ini tidak berlaku bagi mereka yang memaksakan kebenaran dengan kekerasan) sedangkan mereka yang mengaku orang yang toleran, sebenarnya adalah orang yang intoleran. Mereka lah orang yang fanatik terhadap ketidaktahuan mereka sendiri, lalu membuat kesimpulan tentang agama dan iman berdasarkan ketidaktahuan tersebut. Chesterton mengungkapkannya sebagai berikut :

“Rights and wrongs exist and are always in collision; it is the same with creeds. And we are all dogmatists. There are two types of dogmatists: those –like me — who freely admit that they are dogmatists, and those who claim to be tolerant, yet they are the worst bigots of all.” – G.K. Chesterton

Mitos 4 : Toleransi  hanya dapat dilakukan  bila kita menerima agama lain itu sama benarnya seperti agama kita.

Toleransi tidak sama dengan penerimaan. Apalagi menerima dan mengakui bahwa agama lain itu paling benar.

Hanya di dalam Gereja Katolik kepenuhan kebenaran yang bebas dari kesalahan dapat ditemukan, sedangkan kebenaran pada agama lain itu bercampur dengan kesalahan. Nah, karena di agama lain terdapat sebagian dari kebenaran Gereja Katolik, untuk alasan itulah kita sebagai katolik melakukan toleransi terhadap umat beragama lain, seperti yang dikatakan G.K. Chesterton :

“In other words, an honest man must always respect other religions, because they contain parts of his religion – that is, of his largest vision of truth.”

Kita menerima apa yang baik dan benar di dalam agama lain, sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran iman katolik yang kita yakini. Kita bisa memahami bahwa dalam ajaran agama lain, terdapat hal yang bertentangan dengan ajaran iman katolik. Tapi memahami tidak sama dengan menerima bahkan mengakui bahwa hal tersebut benar.

11 komentar

  1. tulisan ini telah jadi pencerahan buat saya. sudah lama , sangat lama mencari dan menunggu tulisan seperti ini. thanks and God Bless

    Suka

  2. PEERIIII EGRIII terhadap tulisan diatas

    dari dulu saya berpendapat, ga perduli apa yg terjadi dengan agama diluar, saya hanya mengurus agama saya sendiri. sebab saya tau agama saya yg paling benar.

    dan saya pun ga masalah agama saya dihina atau di caci, sebab kebenaran memang selalu diperlakukan seperti itu, bagi saya ga masalah mereka menghina agama saya, sebab yg bermasalah justru adalah diri mereka.

    banyak orang yg bertoleransi akhirnya salah kaprah dan men down grade kepercayaan imannya sendiri. karena alasan toleransi jadi sedikit demi sedikit mind set pribadi berubah. ini BERBAHAYA sekali.

    we respect people, because they are creature of God, human being, same with us. but we dont care about their choice, as long as its not our business :D

    Suka

    1. We respect people, because they are imago Dei…yes we care about their choice, apalagi klo mereka memilih jalan yang salah. this is our business, this is our duty, we are our brother keeper.

      Suka

  3. Andrew · · Balas

    Bagaimana dengan seorang Katolik yang akan dan yang sudah pindah agama lain? Bagaimana sikap kita dalam konteks fanatik ni terhadap mereka? Mohon masukkan nya.

    Suka

    1. Kita fanatik terhadap ajaran dan prinsip, bukan pada orang-orang. Sikap kita yang utama adalah tetap mendoakan mereka, semoga suatu hari nanti mereka dapat bertobat dan pulang kembali ke dalam Gereja Katolik.

      Suka

  4. Christophorus Juan · · Balas

    Hmm saya tidak tahu karena MENURUT SAYA benar dan salah masih sebuah misteri perspektif. Tetapi, menurut saya toleransi itu adalah hal tentang menghormati satu sama lain. Toleransi itu berdasarkan kepada kerendahan diri kita untuk menghormati satu sama lain untuk mencoba menerima satu sama lain. Saya ingin mengutip salah satu kalimat yang anda tulis “Pendiri agama Katolik (baca : Gereja Katolik) adalah Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Sedangkan pendiri agama-agama lain tidak lebih adalah manusia, yang memiliki status sebagai guru moral ataupun Nabi, tapi mereka bukan Allah.” Mayoritas dari tulisan anda saya setuju tapi dengan statement ini anda merusak kredibilitas anda sebagai seorang yang toleran. Saya seorang katholik dan mengimani Yesus Kristus sebagai Allah dan manusia tetapi, di lain pihak statement anda terhadap agama lain belum tentu benar di mata mereka. Di statement ini menunjukan anda memiliki perspektif yang kecil terhadap hal tsb tetapi menuliskannya tanpa berpikir panjang. Simplenya tentang toleransi adalah seperti ini “saya percaya apa yang saya percaya , kamu percaya apa yang kamu percaya dan kita saling menghormati.” Menghormati berarti tidak merusak citra agama lain pula tidak meninggikan diri bahwa kita benar. Kita percaya kita benar tetapi alangkah baiknya kita mempunyai batasan saat berbicara dengan orang beragama lain. Tuhan Yesus tidak mengajarkan kita untuk di layani tetapi untuk melayani, dengan melayani tersebut kelaklah hati harus rendah hati. Maaf jika ada yang tidak berkenan kawan. Hanya mengutarakan pikiran lewat kata.

    Suka

    1. Sebenarnya perspektif yang sempit adalah perspektif anda. Mengapa? Karena tulisan anda lebih didasarkan pada “opini pribadi” dan bukannya pada kebenaran yang objektif. Sedangkan pernyataan saya yang anda kutip di atas itu adalah kesimpulan dari studi tentang agama yang pernah saya lakukan. Kalau anda keberatan dengan pernyataan tersebut, silakan disanggah saja dengan bukti atau hasil studi yang objektif, karena bagi saya, saya tidak memperdulikan apa kata mereka terhadap posisi saya.

      Mengenai kredibilitas saya sebagai orang toleran, sudah saya katakan dalam tulisan ini: saya hanya toleran kepada orang, tetapi menyangkut ajaran atau prinsip atau kebenaran yang saya yakini, saya tidak toleran. Bukti bahwa saya toleran adalah saya tidak memaksakan iman saya dengan menggunakan kekerasan. Argumentasi rasional dan persuasi adalah senjata saya, sekalipun bahwa apapun yang saya katakan bisa jadi tidak enak didengar oleh pihak-pihak tertentu, karena saya tidak bermaksud menyenangkan semua pihak.

      Dengan mengatakan bahwa Yesus adalah Allah dan ia adalah pendiri Gereja Katolik, maka konsekuensinya ialah saya menolak siapapun yang mengklaim dirinya sebagai Allah. Dengan menyembah Allah Tritunggal, maka jelas saya menolak gagasan bahwa ada Allah lain selain Allah Tritunggal. Dengan menerima kebenaran iman bahwa Yesus adalah satu-satunya penyelamat, dan kebenaran yang penuh, serta jalan keselamatan hanya ada dalam Gereja Katolik, maka konsekuensinya, jelas saya menolak pendapat atau keyakinan bahwa agama lain dapat menyelamatkan juga. Ini kan konsekuensi iman saya, kenapa harus takut untuk mengatakannya?

      Bagi saya, seorang yang toleran itu harus berani mengkonfrontasi perbedaan, bahkan kontradiksi yang ada di antara agama-agama. Ini adalah fakta yang harus diakui dan diterima secara terbuka. Kalau ada orang lain yang tersinggung karena saya mengatakan apa yang saya yakini, maka sebenarnya masalahnya ada pada orang lain itu, ada pada ketidaksiapan mereka, dan mungkin juga sikap yang tidak dewasa dalam menyikapi perbedaan dan kontradiksi antar agama.

      Tuhan Yesus berkata bahwa akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Dengan kata lain, tidak bisa juga toleransi disederhanakan seperti yang anda katakan: kita percaya apa yang kita yakini masing-masing, dan menghormati. Sebaliknya kita harus mengundang mereka untuk bertanya: apakah yang kamu yakini itu adalah kebenaran? Bagaimana kamu tiba pada kesimpulan ini? Barangkali, mungkin apa yang mesti diimani secara objektif, ada di tempat lain?

      Tuhan Yesus juga tidak hanya mengajarkan tentang melayani, tetapi ia juga memerintahkan kita untuk mewartakan Injil, untuk pergi ke segala bangsa dan juga untuk membaptis mereka dan menjadikan mereka murid Tuhan serta menaati ajaran-Nya (bdk Mat 28:20). Kerendahan hati sejati tidak mengorbankan kebenaran iman ataupun identitas sebagai Katolik tetapi harus memperkuat keduanya.

      Suka

  5. Benar! Toleransi itu adalah menghormati perbedaan secara sadar dan jujur, bukannya memaksakan cocoklogi pada hal yg nggak ada hubungannya sama sekali.

    Suka

  6. Betul sekali….saya setuju! Hahaha….saya pernah posting di fb yang kira-kira begini (maaf sdh agak lupa scr tepatnya) : Apapun agama anda bila anda tidak fanatik maka itu berarti belum mengenal agama anda dengan benar! Dan ternyata postingan saya itu dihujat oleh orkat sendiri dengan mengatakan : “kalo posting jangan ngawur! jangan mentang-mentang prodiakok! #CPD

    Suka

    1. Maaf, fanatik dalam hal ini dalam arti sesuai yang ada dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya WJS. Poerwadarminta, yaitu : teramat sangat kuat kepercayaannya terhadap ajaran (politik, agama dsb0 atau kpd partai.

      Suka

  7. yohanes 777 · · Balas

    Saya suka Tulisan ini dan sungguh menguatkan buat saya dan siapa saja yang peduli dengan SELURUH KEBENARAN sejati yg ada didalam Gereja Kristus.

    Suka

Pengunjung bertanggung jawab atas tulisannya sendiri. Semua komentar harus dilandasi oleh cinta kasih Kristiani. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum ditampilkan. Kami berhak untuk tidak menampilkan atau mengubah seperlunya semua komentar yang masuk.