Maafkan Kesalahan Kami

Oleh: Dr. Marcellino D’Ambrosio, Ph.D

Setiap orang bisa mengucapkan Doa Bapa Kami di luar ingatan. Itulah masalahnya. Kita sering mengoceh tanpa memikirkan apa yang sebenarnya kita katakan.

“Maafkan kesalahan kami seperti kami pun yang mengampuni yang bersalah kepada kami.” Kapan saja kita mendoakan baris ini, kita meminta kepada Allah untuk mengampuni kita, sama seperti kita mengampuni mereka yang menyakiti kita. Dalam kata lain, jika kita menyembunyikan ketidak-ampunan didalam hati kita, seperti yang kita doakan didoa ini, kita memanggil sebuah kutukan turun keatas kita sendiri.

Mari hadapi ini. Kita semua didalam keputus asaan sangat memerlukan pengampunan dari Allah. Tapi berulang kali, Firman Allah membuat jelas bahwa penghalang terbesar kerahimanNya adalah dendam. Didalam Perjanjian Lama, Kitab Sirakh (27:30-28:7) memberitahukan kepada kita bagaimana murka dan amarah, yang disimpan dalam hati dan dipegang erat, adalah racun yang memimpin kepada kematian rohani. Yesus berpikir bahwa ini sangatlah penting dimana Ia memasukkan sebuah peringatan ke pelajaran ini di tengah doa yang Ia ajarkan kepada para muridNya. Dan untuk mendorong tujuannya, Ia memberitahukan kepada kita sebuah perumpamaan dari pelayan yang tak kenal ampun, yang terekam di Injil Matius (18:21-35). Seperti yang kita dengar di cerita ini,kita geram pada kesombongan dan kekeras hatian dari seoseorang yang sudah diampuni hutang besarnya namun segera memberangus tetangga yang berhutang kepadanya lebih kecil jumlahnya daripada yang pernah ia sendiri pernah berhutang. Geram, itu dia, sampai kita menyadari kisah ini sebenarnya tentang kita. Untuk kita semua yang pernah memelihara dendam, bersalah atas hal yang sama. Membawa persoalan ini agak tidak nyaman karena kita semua telah disakiti oleh orang lain. Beberapa telah disakiti lebih dalam lagi. Renungkan, sebagai contoh, dari janda-janda dan yatim piatu dari September 11. Apakah salah untuk memiliki perasaan kemarahan atas kejahatan seperti itu? Apakah pengampunan berarti kita memaafkan pelakunya dan membiarkan diri kita terbuka lebar untuk diperlakukan kejam lagi lebih lanjut?

Sama sekali tidak. Pertama, pengampunan adalah sebuah keputusan, bukan sebuah perasaan. Saya pikir ini agak tak dapat dipercaya bahwa Tuhan Yesus, didalam hati-Nya yang kudus namun masih hati manusia, memiliki perasaan yang lembut kepada mereka yang mengolok-olok Dia selama darahNya mengalir keluar disalib. Tetapi Ia membuat keputusan, diekspresikan didalam doa: “Bapa, Ampuni mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23 :34). Dalam kata lain, tidak ada keinginan untuk balas dendam, tidak ada keinginan untuk membalas dan menyebabkan sakit, penderitaan dan penghancuran kepada mereka yang gembira diatas kesakitanNya. Keinginan untuk balas dendam yang merusak adalah sejenis kemarahan, satu dari ketujuh dosa maut. Sebaliknya, Yesus berdoa kepada Bapa untuk kebaikan mereka bahkan ketika mereka penyebab kesakitanNya.

Apakah Yesus pernah mengalami kemarahan dengan mereka yang berusaha membunuhNya? Tentu saja. Marah yang pada tempatnya adalah respon yang tepat terhadap ketidakadilan. Hal ini bermaksud untuk memberikan kepada kita energi emosional untuk menghadapi ketidak adilan tersebut dan mengatasinya. Mengingat bagaimana marahnya Yesus dalam menghadapi kemunafikan orang Farisi, karena telah menghalangi akses orang lain ke diriNya-memberikan kebenaran. Tapi patut dicatat juga bahwa Ia membalikkan meja para penukar uang, bukan hidup mereka.

Pengampunan bukan berarti menjadi keset kaki. Bukan juga berarti duduk secara pasif ketika seorang alkoholik atau anggota keluarga yang kejam menghancurkan tidak hanya hidupmu tetapi juga hidup orang lain. Tetapi ambil tindakan tegas, bahkan tindakan hukum yang tidak memerlukan kebencian dan keinginan membalas dendam. Beato Paus Yohanes Paulus II tidak meminta untuk melepaskan orang yang menembak dia. Tetapi patut dicatat bahwa ia mengunjungi orang tersebut di penjara untuk menawarkan pengampunan dan persahabatan. Dengan demikian, beliau tidak hanya membingungkan sang penyerang, tapi juga seluruh dunia.

Refleksi pada bacaan Minggu Biasa ke XXIV, Sir 27:30-28:9, Mzm 103, Rm 14:7-9, Mat 18:21-35

sumber

5 komentar

  1. shalom lux veritatis 7.saya ingin bertanya.sebentar tadi saya meminta ibu saya untuk melihat makanan apa yang dibeli oleh ibu saya,tetapi,ibu saya bilang ‘sabar dong’ dengan nada dan suara marah.saya terus marah ibu saya.selepas marah,hati saya timbul perasaan dendam tetapi saya terus mengelak krna saya sedar perbuatan saya cuma mnyedihkan hati Tuhan dan sesama sekiranya sayavtrus mnyimpan dendam.soalan saya ialah apakah kemarahan saya adalah dosa berat atau dosa ringan mskipun saya brjaya membuang dan menjauhi perasaan dendam saya trhadap ibu saya.trima kasih

    Suka

    1. Menghormati orang tua adalah perintah Tuhan yang harus kita patuhi, jika kita tidak melakukanny tentu saja ini berdosa di mata Tuhan. Bagus jika anda sadar anda berbuat salah, artiny hati nurani anda masih bersih. Jika ada kesempatan mintalah maaf kepada ibu anda, katakan anda menyesal telah membuatnya marah. Dosa baik kecil atau besar tetaplah sebuah dosa. Sebaikny kita tidak menganggap remeh dengan membeda bedakan yang ini dosa kecil yang itu dosa besar. Dosa kecil jika terus dibuat lama-lama akan menjadi kebiasaan yang akan menjurus ke perbuatan yang lebih merugikan diri kita.

      Salam,
      Andreas

      Suka

  2. … tapi harus dipilah-pilah dulu arti pengampunan itu, sangat merugikan bagi yang dirugikan, dan menguntungkan pihak yang bersalah… yang tepat adalah pengampunan berdasar keadilan. Misal si koruptor diampuni wah … sama saja mempupuk kejahatan.

    Suka

  3. “Bapa, Ampuni mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 22)

    Maaf kalau ndak salah ayat itu ada di ( Luk 23:34 ) bukan 22, mohon maaf kalau keliru.

    Suka

    1. Shalom agustcaruy,

      Terima kasih atas koreksinya. Memang benar bahwa ayat tersebut harusnya ada di Luk 23:34, bukan Luk 22. Ternyata kesalahannya berasal dari artikel aslinya dan sudah saya koreksi diatas.

      Salam dan doa,

      Cornelius.

      Suka

Tinggalkan Balasan ke chris Batalkan balasan